
Kain tenun bukan sekadar selembar sandangan. Setiap lembarnya mewakili relasi simbolik antara makna dan kesimbangan nilai kehidupan pembuatnya.
Inilah yang diungkap Etty Indriati dalam karya terbarunya Vitalitas Tenun Gringsing: Keindahan dalam Keseimbangan di Tenganan Pegringsingan. Melalui kain tenun gringsing, guru besar antropometri ragawi ini membedah makna ekspresi kehidupan dan kepercayaan masyarakat adat di Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. Pemaparannya disampaikan dalam peluncuran dan diskusi buku terbarunya yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, ICRS, CRCS UGM, dan Penerbit Buku Kompas (12/2).
Spiritualitas leluhur kain tenun gringsing
Etty mengelaborasikan pemahaman antara dunia fisik dan metafisik yang dalam pemahaman adat merupakan satu padu. “Kita—manusia—dalam fisika adalah matter. Kita sendiri adalah benda yang sebenarnya terlibat dan berinteraksi dengan benda lain termasuk dengan kain ketika kita mengenakannya,” terang Etty. Artinya, Etty mengajak kita untuk melihat kain tenun bukan sekadar sebagai benda sandangan, melainkan bagian dari relasi antarsubjek.
Secara terminologi, gringsing merupakan bahasa Bali yang berarti “tidak sakit”. Pemakai kain ini diharapkan selalu sehat dan terhindar dari sakit. Ekspresi religiusitas ini juga tertuang mulai dari cara pembuatan hingga cara dan momen pemakaian kain. Setiap pola dan simbol menjadi representasi nilai spiritualitas warga Tenganan Pegringsingan. Pola dan simbol yang berbeda pada tenun gringsing penggunaan yang juga berbeda. Simbol wayang dalam tenun wayang putri, misalnya, menandakan fungsinya untuk kegiatan ritual. Jenis wayang putri, terang Etty, biasanya dipakai untuk tari rejang oleh remaja putri untuk upacara adat dan keagamaan. Pengenaan kain dengan simbol wayang tersebut tidak boleh dipakai sembarangan seperti di bagian bawah karena kesakralan sosok-sosok tersebut.
Menurut Etty, salah satu karakter seni wastra yang berkembang dalam kebudayaan agrikultur masyarakat Indonesia ialah pola yang geometri yang simetris. Ciri estetika tersebut juga tertuang dalam peninggalan warisan budaya lainnya. Ia mencontohkan, misalnya, beberapa pola, simbol, dan geometri kain tenun gringsing juga dapat ditemukan pada beberapa arca abad ke-13 yang telah direpatriasi dari Belanda ke Museum Nasional, Jakarta. Namun, mengenai mana yang lebih dulu antara pola dalam patung dan kain tenun, masih menjadi pertanyaan yang harus dijawab peminat dan pengkaji seni.
Etty juga menawarkan pendekatan estetika dalam memahami paradigma agama leluhur. Pasalnya, seni keindahan dalam simetri ini menjadi polakeseimbangan yang kerap hadir dalam masyarakat kita. Selain kain tenun, Etty mengamati keseimbangan ini juga tampak dalam ragam jenis permainan dan tari tradisional.
Antara nilai spiritualitas dan ekonomi
Butuh waktu yang sangat lama untuk membuat satu kain tenun gringsing Bali karena harus melewati proses yang melibatkan lebih dari satu komunitas dan ritual. Ketika warga Pegringsingan memulai pembuatan suatu kain, ritual harus dilaksanakan secara benar, bersama-sama, urut sesuai prosedur, dan sesuai dengan kalender tahunan. Bahkan, menurut Etty, salah satu koleksinya harus menunggu sampai enam tahun pembuatan.
Prosedurnya, setelah dipintal, benang dililit melingkar pada dua tiang bambu yang disebut sebagai proses nganyinin. Selanjutnya, ikatan benang tersebut mengacu pada panduan motif yang akan dibuat. Ikatan kain kemudian disikat dan dicelup bahan pewarnaan sampai meresap. Pewarnaan alami membuat benang terlihat cantik, tetapi membutuhkan waktu lama hingga beberapa tahun. Setelah warna meresap, ikatan benang dibuka untuk ditenun dengan alat tenun dari kayu yang disebut cag-cag sampai menjadi kain gringsing.
G.R. Lono Lastro, pengajar Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM berpendapat bahwa temuan Etty menggambarkan bahwa materi yang merupakan produk buatan manusia tidak bisa sekadar dilihat secara nilai ekonomi. Proses panjang tersebut melibatkan banyak individu dan komunitas. Di dalam satu helai kain terkandung nilai spiritualitas dan pengorbanan yang melampaui ruang dan waktu.
Karenanya, ketika membicarakan hubungan kain tenun gringsing terhadap nilai spiritualitasnya, kita tidak bisa sekadar melihatnya sebagai sistem simbolik kebudayaan masyarakat. “Gringsing adalah agen material yang memiliki kapasitas untuk membentuk pengalaman manusia,” terang Lono. Menurutnya, sinergi antara manusia dan kain gringsing sesuai dengan Actor Network Theory yang digagas Bruno Latour: segala sesuatu di dunia saling berhubungan secara aktif.
Hanya saja, kerap kali wastra ditiru dengan metode cetak menggunakan bahan pewarnaan kimia buatan sebagai komoditas. Etty tidak mempermasalahkan peniruan ini karena harganya lebih terjangkau sehingga lebih banyak orang yang akan mengenakannya. Namun, ketika kain tradisional ditiru, pengetahuan akan makna di baliknya harus turut dipelajari oleh konsumen. Etty menegaskan agar tiruan ini hanya dipakai untuk keseharian, bukan di dalam kegiatan ritual atau kegiatan sakral lainnya.
Rektor Universitas Gadjah Mada Ova Emilia mengungkapkan kekaguman hasil riset terkait wastra gringsing Bali. Menurutnya, apa yang disampaikan merupakan hasil ketekunan Etty yang menguasai ragam bidang keilmuan dengan berfokus pada kegemaran pribadi.
“Beliau seorang ahli dokter gigi, mendalami bidang antropologi ragawi, kemudian akhirnya ke kebudayaan. Etty telah menulis banyak sekali buku yang menunjukkan bahwa beliau kalau berminat atau menyukai sesuatu itu betul-betul ditelusur sampai ke akarnya,” jelasnya. Menurutnya, akademisi yang ingin mendalami lewat riset dapat dimulai dari hal terdekat yang digemari seperti Etty lakukan kepada kain gringsing.
“Kita bisa memasukkan juga personal interest ke dalam karir akademik kita. Bu Etty tidak tanggung-tanggung untuk itu,” tambah Lono. Latar belakang Etty dari kedokteran gigi, menurut Lono, menjadi penyemangatnya mengamati hal-hal detail di bidang humaniora. Oleh karena itu, temuan dalam karya-karya Etty menjadi bukti bahwa ilmu pengetahuan harus dibawa dengan semangat pendekatan lintas disiplin.
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari dokumentasi Etty Indriati.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.