Otoritas Agama, Pengalaman Keseharian, dan Peran Ulama Perempuan
Andi Alfian – 20 Oktober 2022
Sebagai salah satu pemegang otoritas keagamaan, ulama tidak hanya bertugas membimbing, tetapi juga mengeluarkan pendapat berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam terkait persoalan yang dihadapi oleh umat, baik ritual keagamaan maupun aktivitas sosial kemasyarakatan. Pendapat-pendapat mereka inilah yang kemudian disebut sebagai fatwa.
Di Indonesia, dan banyak negara mayoritas muslim lain, perumusan fatwa nyaris semuanya dilakukan oleh ulama laki-laki. Padahal, sejumlah persoalan yang mereka diskusikan adalah hal-hal yang sangat dekat dan berimbas langsung dengan kehidupan dan pengalaman para perempuan muslim. Menanggapi situasi ini, gerakan kaderisasi ulama perempuan di Indonesia mulai tumbuh dan merebak dalam dekade terakhir. Salah satu tonggak pentingnya adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres yang diadakan di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, Jawa Barat, pada 2017 ini berupaya menggerakkan dan menguatkan kelompok ulama perempuan agar terlibat aktif dalam penyelesaian persoalan umat muslim di Indonesia. Kongres tersebut menginspirasi Nor Ismah, Kepala LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, untuk meneliti dan mengkaji persoalan ini lebih lanjut.
Ismah mempresentasikan sebagian penelitiannya itu pada Wedforum 5 Oktober 2022 yang bertajuk “The Everyday Practices of Women’s Fatwa-making in Java, Indonesia”. Kandidat doktor di Leiden University, Belanda, ini mengemukakan ada dua wadah utama yang menjadi ruang para ulama perempuan terlibat dalam mengeluarkan fatwa. Pertama, isu-isu praktis keseharian di tingkat lokal. Kedua, isu-isu kontroversial di ruang publik yang lebih luas. Isu yang diperbincangkan di ruang ini merupakan isu-isu penuh kontestasi yang melibatkan ratusan ulama perempuan dari berbagai latar belakang.
Salah satu yang menarik dari penelitian Nor Ismah adalah caranya memosisikan fatwa. Nor Ismah tidak meletakkan fatwa sebagai produk jadi yang dihasilkan dari forum-forum perumusan fatwa, tetapi sebagai proses yang berkelanjutan. Bagi Nor Ismah, dalam fatwa, ada interaksi antara para pembuat dan para penerima fatwa yang berlangsung terus-menerus. Para perempuan pembuat fatwa ini berperan sebagai perumus yang mengobservasi sekaligus sebagai partisipan yang berpartisipasi.
Dengan menggabungkan pendekatan antropologi dan gender, Nor Ismah meneliti peran para ulama perempuan yang terlibat dalam perumusan dan pemberian fatwa di empat ranah: institusi pembuat fatwa, akar rumput, aktivisme dan gerakan perempuan, dan majalah perempuan. Menurut Nor Ismah, keempat ranah tersebut juga merupakan representasi dari ruang-ruang yang seringkali dianggap marginal dalam perumusan fatwa, terutama jika hal itu dilakukan oleh para perempuan.
Empat Ranah, Empat Dinamika
Dalam ranah institusi pembuat fatwa, para ulama perempuan lebih sering berperan sebagai pengamat dan peserta dalam proses pembahasan dan perumusan fatwa. Otoritas keagamaan dan pemberian fatwa dilakukan oleh laki-laki sebagai pemimpin institusi. Menurut Ismah, para ulama perempuan hanya dapat benar-benar memiliki otoritas agama ketika mereka memainkan peran yang sama dengan laki-laki. Untuk mendapatkan peran dalam organisasi yang didominasi laki-laki itu, para ulama perempuan tidak cukup sekadar menunjukkan kapasitas pengetahuan keagamaan yang memadai, tetapi juga perlu memiliki posisi dan jaringan yang kuat dalam organisasi. Singkatnya, otoritas agama di institusi fatwa cenderung dari atas ke bawah. Karenanya, ulama perempuan perlu punya posisi di atas untuk punya pengaruh ke bawah.
Berbeda dengan institusi fatwa, di ranah akar rumput para ulama perempuan memainkan peran penting dan memiliki otoritas agama yang lebih. Mereka aktif berkontribusi dalam memandu dan memberi fatwa bagi umat. Selain itu, Nor Ismah juga menemukan, kebanyakan para ulama perempuan di ranah ini mengembangkan kemampuan berfatwa mereka melalui orang tua atau keluarga besar mereka yang seringkali merupakan ulama atau pemimpin pesantren. Meski demikian, pencapaian para ulama perempuan tersebut tidak semata-mata bergantung pada latar belakang orang tua atau keluarga mereka. Para ulama perempuan mendayagunakan otoritas agama yang mereka punya melalui pelibatan diri aktif dengan masyarakat. Dalam konteks semacam ini, otoritas agama yang dimiliki ulama perempuan bergantung pada penerimaan masyarakat—atau dalam istilah Kloos dan Künkler (2016), sebagaimana dikutip Ismah, bottom-up certification atau sertifikasi dari bawah ke atas.
Ruang lain yang juga dielaborasi oleh Nor Ismah adalah ruang aktivisme dan gerakan sosial. Pelaksanaan KUPI 2017 menjadi titik penting perjuangan intelektual muslim perempuan di Indonesia —yang tentu saja tidak bisa dipisahkan dari perjuangan para intelektual perempuan muslim sebelumnya. Dalam konteks ini, para ulama perempuan berperan penting sebagai pemberi fatwa terhadap isu-isu kontroversial dan penting untuk dibahas secara kolektif. Pada ranah ketiga ini, fatwa menjadi perangkat kunci untuk melakukan perubahan doktrin. Artinya, melalui fatwa, para ulama perempuan dapat mengubah interpretasi doktrin yang bias menjadi interpretasi yang lebih progresif. Kelebihan lain dari ruang ini adalah para ulama perempuan, terutama yang tergabung dalam jaringan ini, menggabungkan aktivisme berbasis komunitas dengan kerangka KUPI—melalui pendekatan mubadalah dan keadilan hakiki, misalnya—sebagai metode baru dalam menafsirkan teks-teks Islam.
Lebih lanjut, Ismah juga menelisik majalah perempuan sebagai ruang temu yang memungkinkan interaksi antara ulama perempuan sebagai pemberi fatwa dan para penerima/peminta fatwa. Ada tiga majalah yang ia teliti yakni Swararahima dengan rubrik “Tanya Jawab Agama”, AuleA dengan “Fiqhunnisa”, dan NooR dengan “Worship to Allah”. Dalam ruang ini, terdapat tiga agen utama yang terlibat. Pertama, pembaca yang mengirimkan pertanyaan tentang fatwa dan sekaligus sebagai khalayak yang membaca tanya jawab fatwa tersebut. Kedua, para ulama perempuan yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh pembaca. Ketiga, staf redaksi majalah yang mengolah proses tanya jawab tersebut. Meskipun interaksi peminta dan pembuat fatwa dimediasi oleh majalah cetak, artinya peminta dan perumus fatwa tidak terlibat dalam komunikasi tatap muka secara langsung, proses perumusan fatwa oleh ulama perempuan tetap dalam proses etis yang interaktif.
Penelusuran peran perempuan dalam perumusan fatwa dari perspektif antropologis dan gender di empat ranah tersebut menunjukkan bahwa fatwa bukanlah sebuah entitas yang seragam dan monolit. Bentuk fatwa begitu beragam—baik secara istilah, makna, maupun praktiknya—karena fatwa sangat terkait dengan ruang tempat fatwa tersebut diminta dan dirumuskan.
Saat sesi tanya jawab, salah seorang peserta menanyakan tentang dinamika perumusan fatwa di KUPI untuk isu-isu sensitif. Nor Ismah memberi contoh strategi KUPI dalam merumuskan fatwa dari pertanyaan, ”Bagaimana hukum pernikahan anak usia dini dalam Islam?” Dalam isu ini, bahtsul masa’il atau sidang pembahasan fatwa dari NU dan MUI cenderung merujuk pada umur dan status menstruasi si anak, karena dalam mayoritas hukum Islam selama perempuan tersebut sudah menstruasi artinya sudah siap untuk dinikahi. Alih-alih menjawab langsung pertanyaan tersebut, KUPI memformulasi kembali pertanyaan tersebut dengan pendekatan berbeda, “Bagaimana hukumnya mencegah pernikahan anak yang membahayakan anak-anak?” Ini dilakukan untuk memberikan perspektif yang lebih inklusif di masyarakat.
Ismah menambahkan, bahtsul masa’il yang berlangsung di KUPI lebih komprehensif dibanding proses yang sama di institusi pembuat fatwa lain. Biasanya, bahtsul masa’il hanya berisi pertanyaan, jawaban, dan sumber rujukan. Sementara itu di KUPI, sidang menyampaikan pula analisis terhadap fatwa tersebut. Di dalamnya terdapat argumentasi pengambilan keputusan, data dari riset-riset yang ada, pengalaman masyarakat, maupun konvensi internasional.
Ismah menggarisbawahi, peran aktif ulama perempuan dalam perumusan fatwa tersebut menunjukkan bahwa fatwa juga merupakan praktik yang “disruptif”. Ketika para ulama perempuan punya ruang dan terlibat aktif dalam perumusan dan pemberian fatwa, hal ini dapat menjadi pintu masuk untuk mendelegitimasi dominasi laki-laki dalam pembuatan fatwa sehingga terbangun otoritas keagamaan yang inklusif. Penelitian Nor Ismah ini menegaskan sekaligus melebarkan cara pandang kita bahwa fatwa sebagai sarana perwujudan otoritas agama tidak bisa hanya dilihat sebagai produk forum perumusan hukum di institusi keagamaan. Dalam konteks ini, fatwa juga dapat dilihat sebagai bagian dari gerakan perempuan muslim. Bagi Ismah, tujuannya tentu saja agar suatu hari nanti ulama laki-laki dan perempuan dapat duduk setara dan bersama merumuskan fatwa untuk menjawab permasalahan umat dengan lebih inkusif dan adil.
_______________________
Andi Alfian adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Andi lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini adalah dokumentasi dari KUPI 2017