• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • agama leluhur
  • agama leluhur
Arsip:

agama leluhur

Agama Leluhur, Pengetahuan Adat, dan Bumi yang Darurat

News Friday, 14 January 2022

Di tengah kondisi bumi yang darurat ini, pengetahuan adat bisa menjadi antitesis dari agrikultur modern yang bersifat merusak. Agama leluhur memainkan peran sentral di dalamnya.

Paradigma Agama Leluhur

Class Journal Friday, 17 January 2020

Agama dunia yang kuat elemen teologisnya dan hierarkis dalam memandang hubungan manusia-alam akan menganggap relasi antara penganut agama leluhur dengan pohon, batu, gunung, dst, sebagai relasi penyembahan. Paradigma semacam ini perlu digeser.

Agama Leluhur dan Kemajuan Besar Demokrasi Indonesia

Perspective Monday, 19 August 2019

Pidato pembuka Robert Hefner di International Conference on Indigenous Religions pada 1 Juli 2019 di UGM.

Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia

Thursday, 15 February 2018

BUKU BARU CRCS – Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia

BeritaBerita Utama Tuesday, 4 July 2017

Buku terbaru CRCS, terbit Juni 2017, tentang sejarah politik rekognisi terhadapa penganut agama leluhur di Indonesia, oleh Dr. Samsul Maarif.

Dari Diskusi di Kemenag: Memadukan Kebijakan dengan Riset

BeritaBerita Utama Thursday, 9 March 2017

Subandri Simbolon | CRCS | Berita

Agar tak salah arah, kebijakan seharusnya berdasar pada riset. Kesenjangan antara kebijakan dengan pengetahuan acapkali berujung pada kebijakan yang tak menyelesaikan masalah. Termasuk di sini kebijakan yang berkenaan dengan umat beragama.
Untuk menjembatani pemerintah dengan akademisi, pada 14 Februari 2017 Balitbang Kementerian Agama bekerja sama dengan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina mengadakan diskusi dengan topik mengenai definisi agama dan penodaan agama sebagai rangkaian dari serial diskusi “Analisis Kebijakan: Riset dan Kebijakan Terkait Kehidupan Beragama di Indonesia”. Serial diskusi ini direncanakan akan menghasilkan buku terkait tema-tema seperti intoleransi, konflik agama, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kerukunan antarumat beragama. Forum diskusi itu dihadiri berbagai kalangan dari pihak Kemenag, termasuk Menteri Agama Lukman H. Saifuddin, para akademisi dan aktivis. Dua dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Dr Samsul Maarif dan Dr Zainal Abidin Bagir, menjadi pembicara dalam forum itu.
Definisi Agama
Samsul Maarif memaparkan ulasannya dengan tajuk “Meninjau Ulang Definisi Agama, Agama Dunia, dan Agama Leluhur”. Ia menyampaikan bahwa definisi agama saat ini cenderung diskriminatif karena menggunakan paradigma “agama dunia” (world religion) untuk menilai agama lokal. Paradigma ini dalam diskursus klasik Barat prototipenya adalah Kristen sedangkan dalam konteks Indonesia adalah Islam. Agama-agama lokal, dalam paradigma ini, cenderung menempati posisi yang lebih rendah. Penggunaan paradigma agama dunia itu bukan saja menyusup ke dalam cara pengambilan kebijakan oleh pemerintah, melainkan juga telah menghantui dunia akademik di Indonesia.
Berdasar pada kritik itu, Samsul menyampaikan bahwa pemahaman mengenai agama yang cenderung esensialis harus dihindari, karena agama mesti dipahami secara diskursif berdasarkan konteks waktu, tempat, dan sejarahnya. Yang sebenarnya lebih diperlukan adalah mempertimbangkan definisi dari segi efektifitasnya dalam memecahkan masalah. Dalam hal ini, definisi yang dibuat seharusnya dapat membebaskan kelompok-kelompok tertentu, utamanya kalangan penganut agama leluhur, dari perlakukan diskriminatif.
Di samping itu, Samsul menegaskan bahwa kebijakan dan studi terhadap para penganut agama leluhur mesti dilakukan dalam konteks keragaman agama, yakni bahwa para penganut agama leluhur mendapat kebebasan untuk mendefenisikan agama mereka sendiri. Pemerintah diharapkan dapat memfasilitiasi self-determinism warganya dan melihat mereka sebagai warga negara yang setara. Definisi yang baik adalah definisi yang mampu memberikan hak-hak yang setara pada semua penganut agama, baik agama-agama dunia maupun agama-agama leluhur dan kepercayaan, di Indonesia.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Dalam forum yang sama, Dr Zainal Abidin Bagir berbicara untuk tema “Kajian tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Implikasinya untuk Kebijakan”.
Zainal memaparkan diskusi mutakhir tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) baik di tingkat internasional maupun nasional serta tema-tema yang menonjol. Ia menegaskan bahwa dalam diskursus di tingkat internasional KBB bukanlah konsep yang sudah fixed dan statis, namun mengalami perkembangan hingga saat ini. Di antara masalah yang masih kerap muncul hingga kini dalam diskusi KBB adalah pertentangan antara mereka yang mengklaim universalitas KBB, sebagai bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan negara-negara yang menggunakan sudut pandang partikularistik, yang merelatifkan KBB. 
Terlepas dari itu, perkembangan yang menarik adalah regionalisasi HAM, yaitu diadopsinya HAM oleh beberapa regional, termasuk Uni Eropa, ASEAN, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Lebih jauh, meskipun ada kecenderungan partikularistik itu, dalam perkembangannya HAM ASEAN dan OKI cenderung mengalami konvergensi ke HAM internasional.
Di Indonesia sendiri, Zainal melihat beberapa perkembangan penting HAM setelah 1998, termasuk ratifikasi beberapa kovenan, dan masuknya klausul khusus mengenai HAM dalam amandemen Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, terjadi pengarusutamaan KBB dalam berbagai UU. Perkembangan ini menurut Zainal menjadi sebuah nilai plus bagi Indonesia jika dibandingkan dengan perkembangan regional, khususnya jika dibandingkan dengan banyak negara ASEAN dan OKI. Di Indonesia pun, partikularisasi KBB terjadi, yakni dalam menghadapkan HAM dengan apa yang dianggap sebagai kultur Indonesia dan aspirasi keagamaan sebagian kelompok beragama, khususnya muslim. Salah satu bentuk partikularitas itu diekspresikan dalam konsep “kerukunan”, yang hingga tingkat tertentu menjadi pembatas kebebasan.
Di bagian akhir paparannya, Zainal mengajukan beberapa rekomendasi untuk pengembangan kajian dan perumusan kebijakan terkait KBB. Pertama, “membumikan” KBB dalam tradisi kultural atau keagaman untuk memperluas tingkat penerimaan publik. Kedua, perlunya ada kajian komparatif dengan praktik-praktik kebijakan KBB di negara-negara lain untuk memperkaya perspektif dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang menyumbang atau menghambat keberhasilan perumusan maupun implementasi kebijakan. Ketiga, perlunya ada perhatian pada best practices dari praktik-praktik yang sudah terjadi agar kajian kebijakan tak hanya melihat aspek legal secara abstrak namun juga situasi dan kondisi yang memungkinkan keberhasilan perumusan dan penerapan kebijakan.
Batas minimal? 
Dalam sesi tanya jawab, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajukan satu pertanyaan tentang batas minimal yang harus dilakukan negara dalam Perlindungan Umat Beragama (PUB). Andreas Harsono, dari Human Rights Watch, menjawab bahwa batas minimal adalah tidak terjadinya kekerasan kepada kelompok keagamaan manapun. Zainal melanjutkan dengan menyampaikan bahwa hak-hak administrasi kependudukan, kebebasan beribadah harus dipenuhi bagi semua pemeluk agama, terlepas dari bagaimana agama didefinisikan.
Kasus-kasus yang acapkali terjadi adalah sulitnya sebagian kalangan untuk mendapatkan hal-hak konstitusionalnya. Di beberapa daerah, hak-hak dasar pemeluk agama leluhur belum terlayani secara penuh. Misalnya, seorang anak tidak bisa dimasukkan dalam Kartu Keluarga orang tuanya hanya karena perkawinan mereka berdasarkan agama leluhur dan tak dapat dicatat dalam pencatatan sipil. Hal ini para gilirannya berakibat pada hilang atau berkurangnya akses-akses dalam bidang lain seperti pendidikan, kesehatan dan hak politik.
Di akhir diskusi, Menteri Agama menyampaikan bahwa Kementerian Agama terbuka untuk menerima masukan dari semua pihak, khususnya dalam upaya merumuskan RUU Perlindungan Umat Beragama yang sedang diproses.

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju