• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Laporan Wednesday Forum
  • Menimbang Keberagaman di Bawah Raja Anglikan

Menimbang Keberagaman di Bawah Raja Anglikan

  • Laporan Wednesday Forum, Wednesday Forum Report
  • 3 March 2023, 08.38
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Menimbang Keberagaman di Bawah Raja Anglikan

m rizal abdi  – 1 Maret 2023

Wafatnya Ratu Elizabeth II beberapa waktu silam tidak hanya menyisakan duka bagi warga Inggris dan keluarga kerajaan, tetapi juga menggurat pertanyaan besar: Apa yang akan terjadi dengan masa depan Kerajaan Inggris, pusat dunia bagi Gereja Anglikan?

Jemaat Gereja Anglikan patut berdebar soal ini. Mei 2023 nanti, Uskup Agung Canterbury akan mengurapi sang calon raja dengan minyak suci, memberkati, dan menahbiskannya sebagai raja baru Inggris. Saat itu, Raja Charles III bukan hanya menjadi pemimpin bagi Britania Raya, melainkan juga Gubernur Tertinggi bagi gereja induk Anglikan sedunia yang juga bergelar Fidei Defensor, ‘sang pembela agama’. Menariknya, jauh sebelum naik tahta, Charles III sudah menyatakan bahwa dirinya ingin dikenal sebagai “Defender of Faith” atau ‘pelindung agama’ alih-alih sebagai pembela agama tertentu (Defender of the Faith). Pernyataan Charles pada wawancara tahun 1994 tersebut tentu saja memancing kontroversi dan kegelisahan saat itu. Bahkan, muncul usulan penangguhan atas penobatannya jika suatu hari ia mewarisi tahta Inggris.

Pasalnya, gelar “Defender of the Faith” bagi kerajaan Inggris merupakan status sakral yang keberadaannya terkait erat dengan eksistensi Gereja Inggris. Gelar ini disematkan oleh Paus Leo X kepada Raja Henry VIII pada 1521 atas upayanya menghalau ekspansi Gereja Luther. Ketika sembilan tahun kemudian Gereja Inggris berpisah dengan Katolik Roma, gelar ini tetap dipakai oleh kepala negara Inggris. Bedanya, term “the Faith” kini mengacu khusus pada iman Gereja Anglikan.

Kegelisahan tersebut makin menemukan muaranya ketika Sensus Nasional Inggris menunjukkan penurunan secara drastis populasi di Inggris yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Kristen dalam dua dekade terakhir. Jika pada 2001 sebanyak 72% populasi menyatakan diri sebagai umat kristiani, maka angka ini pada 2021 turun drastis menjadi 46% alias kurang dari setengah populasi. Sekitar 37% populasi memilih untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai tidak beragama. Dinamika ini menjadi salah satu pemantik Wednesday Forum yang bertajuk “British Religious Plurality in the Age of Charles III” oleh Profesor James Walters dari London School of Economics and Political Science pada 15 Februari 2023 silam.

Tren Sekularisme di Inggris

Membaca fenomena ini, James Walters menengarai setidaknya ada dua corak dalam tren sekularisme di Inggris Raya. Pertama, penolakan kepada Tuhan atau yang terkait ketuhanan. Kedua, keterputusan kultur masyarakat dengan institusi gereja. Corak yang pertama sering kali menjadi argumen utama para akademisi. Masyarakat Inggris modern perlahan mengesampingkan agama dan condong kepada ilmu pengetahuan yang mereka anggap lebih rasional. Selepas Revolusi Industri, masyarakat mulai beralih kepada dunia yang mekanistik. Pengetahuan akan alam semesta bisa dijelaskan tanpa membutuhkan referensi metafisika. Di sisi lain, tumbuh ideologi deisme yang menganggap Tuhan sebagai arsitek alam raya yang kemudian membiarkan sistem ini bekerja dengan sendirinya. Dalam konteks ini, Alkitab sekadar dianggap sebagai sumber moralitas.

Jika corak pertama bekerja di ranah intelektual, corak kedua tren sekularisme di Inggris berlangsung di ranah masyarakat awam. Pada dua generasi sebelumnya, menurut Walters, identitas kekristenan begitu melekat pada masyarakat Inggris. Ia mencontohkan bagaimana perjamuan Minggu, perayaan Natal, dan Paskah menjadi ruang sosial bagi masyarakat untuk berkumpul bersama. Identifikasi sebagai umat kristiani bukan berdasarkan ketaatan, melainkan kehadirannya di ruang-ruang bersama tersebut. Kini, berbagai perayaan keagamaan tersebut lebih berkutat pada persoalan konsumerisme dan individualisme. Bagi masyarakat semacam ini, gereja seolah makin kehilangan signifikansinya. Tak heran, narasi tentang kemunduran peran gereja pada masyarakat Inggris modern sering kali menjadi tajuk utama artikel atau berita tentang sekularisme di Inggris. Argumen populer yang paling sering ditunjukkan di media adalah kosongnya gereja-gereja klasik bergaya Victoria yang menjadi simbol supremasi dan kejayaan.

Namun, bagi Prof. Walters, narasi tersebut distortif dan cenderung menyesatkan. Faktanya, gereja-gereja bergaya Victoria itu memang tidak buka selain kebaktian di hari Minggu. Meminjam penelitian sosiolog Robin Gill, gereja-gereja Viktorian dengan ruang kebaktian yang luas itu memang tidak pernah penuh bahkan pada era Victoria. Gereja-gereja tersebut dibangun oleh para filantropis di jamannya untuk menunjukkan kemegahan bangunan kekristenan. Di sisi lain, narasi perpindahan preferensi masyarakat Inggris dari Kristen menjadi ateis juga kurang tepat. Menurutnya, yang terjadi ialah perpindahan dari Kristen kultural dan nominal menjadi apatis atau tidak berkomitmen terhadap kekristenan. “Dalam konteks gereja di Inggris, apatisme ini sering disamakan dengan tidak beragama,” tambahnya. Lagipula, ketidakhadiran di gereja-gereja tidak berarti hilangnya perjumpaan mereka dengan Tuhan.

Prof. James menunjukkan bahwa gereja masih berperan penting dan signifikan bagi masyarakat Inggris. Tiap tahun, jutaan warga Inggris mendapatkan pendidikan melaui berbagai sekolah yang terafiliasi dengan gereja. Ketika perekonomian Inggris sempat limbung sebagai efek Brexit, gereja menyediakan berbagai kebutuhan bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan para tunawisma. Alih-alih mengamini tren sekularisme, Prof. James justru menggarisbawahi, “Sekularisme gagal memberikan sesuatu yang sebelumnya telah disediakan oleh agama.”

Tantangan Keberagaman di Era Charles III

Terlepas dari dinamika proyek sekularisme benar-benar terjadi atau tidak, Charles III akan menghadapi situasi keberagama(a)n Inggris yang berbeda dengan sang ibu. Inggris kiwari adalah negara dengan jumlah penduduk imigran dari luar Eropa yang cukup besar dan berlatar belakang agama beragam. Para keturunan imigran yang menjadi warga negara Inggris perlahan mendapatkan posisi penting, sebut saja Sadiq Khan, keturunan Inggris-Pakistan yang menjadi Mayor London muslim pertama; dan Rishi Sunak, keturunan imigran asal India yang menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris beragama Hindu pertama. Pada saat yang sama, tensi dan kecurigaan masyarakat Inggris terhadap komunitas imigran kian meninggi. Survei pada tahun 2015 misalnya, hanya 8% dari warga Inggris yang memiliki pandangan positif terhadap muslim.

Charles III rupanya cukup sigap melihat situasi ini. Beberapa hari selepas wafatnya Ratu Elizabeth II, ia menemui tak kurang dari 30 pemimpin lintas agama di Istana Buckingham. Di hadapan mereka, Charles III menegaskan bahwa secara personal ia adalah seorang Anglikan yang taat sekaligus seorang pemimpin yang, “mempunyai tugas untuk melindungi keberagaman negara ini.” Menariknya, Charles III tidak berhenti di sini. Upaya perlindungan tersebut mencakup ruang-ruang praktik keberagamaan warga non-Kristen maupun mereka yang memilih hidup dengan cara sekuler. Dengan kata lain, calon raja baru Anglikan tengah memaknai ulang gelar “Defender of the Faith” yang ia sandang

Saat sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi menanyakan masa depan Kerajaan Inggris dengan membandingkan situasi monarki di Inggris dan Yogyakarta, Indonesia. Pada 2015, di tahun yang sama dengan pernyataan kontroversial Charles III tentang “Defender of the Faith”, Sultan Yogyakarta secara tidak langsung menyatakan bahwa dirinya melepas gelar keagamaan Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah sebagai upaya untuk memodernisasi nilai-nilai keraton. Merespons pertanyaan tersebut, Walters mengajak untuk menilik kembali kesejarahan gelar “Defender of the Faith” bagi raja atau ratu Inggris. Sebagai tanggung jawab yang menjiwai kerajaan Inggris selama berabad-abad, gelar tersebut terus-menerus dimaknai kembali tanpa harus kehilangan posisi pentingnya sebagai pemimpin sebuah komunitas agama. Tentu saja, pembuktian terhadap hal ini akan menempuh jalan panjang dan terjal—terlebih lagi, di tengah  isu pernikahan sesama jenis, sikap gereja atas LGBTQ, dan konflik rasial yang terus meningkat dan membayangi. Pembuktian itu akan dimulai ketika Uskup Agung Canterbury mengurapi minyak suci dan memakaikan Mahkota Negara Kekaisaran (Imperial State Crown) ke kepala sang raja baru Anglikan.

______________________

m rizal abdi  adalah alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2015 yang kini mengabdi sebagai cantrik di Divisi Pendidikan Publik CRCS UGM. Baca tulisan abdi lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini adalah foto Royal Family dari religionmediacenter.org.uk

 

Tags: keberagaman m rizal abdi

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Almost all countries in the world have Chinatowns, Almost all countries in the world have Chinatowns, Indonesia is no exception. 

In fact, the relationship between the people of China and the Indonesian Archipelago has been going on for two millennia. It is only natural that Chinese culture strongly influences Indonesian culture today.

However, the character of Chinatowns on the Archipelago is as diverse as their history and relations with local communities.

Come and join the discussion at Room 306, Graduate School Building, Universitas Gadjah Mada.

#wednesdayforum is free and open to the public.
Jika sebelumnya kita mengulas tentang kegagalan id Jika sebelumnya kita mengulas tentang kegagalan ideologi pembangunan yang mengesampingkan pengetahuan adat, kali ini @ichuslucky berbagi cerita tentang bagaimana penduduk di Perbukitan Menoreh menggunakan pengetahuan adatnya untuk merawat mata air yang tersisa.

Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs.
Tak selamanya pembangunan itu bersinonim dengan pe Tak selamanya pembangunan itu bersinonim dengan perbaikan dan kemajuan. Yang kerap terjadi justru sebaliknya, pemaksaan dan peminggiran mereka yang dianggap obyek pemeradaban. 

Simak ulasan lengkap menohok nan reflektif dari @andialfianx ini di situs web crcs ugm.
God save the king! Around 500 years ago, King Hen God save the king!

Around 500 years ago, King Henry VIII was awarded by Pope Leo X the title Fidei Defensor or "Defender of Faith" for his defense of the Catholic Church. He subsequently broke away and then declared independence from Catholic Rome, thus becoming the first head of the Church of England. 

Now, the title is inherited by Charles III who lead a kingdom that has seen both significant secularization and growth in non-Christian minorities over the last twenty years.

What the monarchy’s long relationship with religious plurality may look like under the new sovereign?

Come and join the discussion at Room 306, Graduate School Building, Universitas Gadjah Mada.

#wednesdayforum is free and open to the public.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju