Dian Andriasari | SPK-CRCS | Opini
Agama dan negara memiliki relasi yang erat dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ketiga menyatakan kemerdekaan Indonesia adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Kalimat dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu adalah salah satu representasi pengakuan negara terhadap eksistensi agama, meskipun Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara kesatuan yang mengakui keragaman melalui semboyan bhinneka tunggal ika. Indonesia merupakan suatu bangsa yang multietnis dan multireligius, dan rakyatnya memiliki multiidentitas.
Dalam ranah praksis, agama tidak semata berupa ritus, liturgi, doa atau pengalaman mistik yang bersifat personal dan unik. Agama juga hadir dan manifes dengan cara yang kadang tidak dikehendaki pemeluknya sendiri. Di satu sisi agama dapat menjadi sarana integrasi sosial; di sisi lain agama dapat menjadi instrumen yang cukup efektif dalam memicu disintegrasi sosial.
Relasi agama dan negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan. Ketegangan hubungan agama dan negara dipicu antara lain oleh konstelasi sosial-budaya di Indonesia yang heterogen. Namun negara mengatur hak kebebasan beragama melalui Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Artinya secara konstitusional negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi. Pemerintah juga telah meratifikkasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang menambah jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Perkembangan demokrasi di beberapa negara menunjukkan bahwa kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk bisa berdiri jika ditopang oleh beberapa pilar. Pilar pertama adalah konstitusi yang mengandung prinsip akuntabilitas yang mengontrol perimbangan kekuasaan dan penerimaan/pengakuan hak-hak warga negara (hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan kultural). Proses mencapai tujuan negara demokrasi juga bertumpu pada pengembangan cita hukum sebuah negara, hukum yang melahirkan regulasi guna mewujudkan perlindungan dan ketertiban sosial.
Hakikat hukum bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan moral. Ide keadilan tidak pernah lepas dari kaitan hukum, sebab membicarakan hukum, baik jelas maupun samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan (Satjipto Rahardjo, 1986:46). Kekuatan moral juga adalah unsur hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan dan ketidakadilan menurut hukum diukur dan dinilai oleh moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia.
Embrio formalisasi pengaturan agama oleh negara pertama kali disampaikan oleh Prof. Oemar Senoadji, SH dalam simposium “Pengaruh Kebudayaan dan Agama Terhadap Hukum Pidana” di Bali pada tahun 1975 dengan tulisan beliau berjudul “Delik Agama”. Oemar Senoadji mengemukakan landasan dan urgensi mengapa negara perlu mengatur agama. Landasan dan urgensi tersebut kemudian melahirkan beberapa teori-teori delik agama. Teori-teori tersebut bermaksud menjelaskan landasan teoritik atau latar belakang pemikiran konseptual mengenai perlunya dilakukan kriminalisasi terhadap delik agama.
Beberapa catatan penting dari landasan teoretik tersebut di antaranya adalah: Pertama. Religionsschutz-Theorie (teori perlindungan “agama”). Menurut teori ini, “agama” itu sendiri dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi (atau yang dipandang perlu untuk dilindungi) oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kedua, Gefühlsschutz-Theorie (teori perlindungan “perasaan keagamaan”). Menurut teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah “rasa/perasaan keagamaan” dari orang-orang yang beragama. Ketiga, Friedensschutz-Theorie (teori perlindungan “perdamaian/ ketentraman umat beragama”). Objek atau kepentingan hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah “kedamaian/ketentraman beragama interkonfessional di antara pemeluk agama/kepercayaan.”
Di dalam KUHP (WvS) selama ini tidak ada bab khusus mengenai delik agama, walaupun ada beberapa delik yang dapat dikategorikan juga sebagai delik agama dalam ketiga pengertian di atas. Delik agama dalam pengertian yang pertama (yaitu “delik menurut agama”) banyak tersebar di dalam KUHP karena pada dasarnya sebagian besar delik dalam KUHP juga terlarang menurut agama, seperti delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah, perkosaan, dan seterusnya. Artinya hal-hal yang dilarang dalam KUHP juga merupakan hal-hal yang dilarang ajaran agama.
Sedangkan delik agama dalam pengertian yang kedua terlihat dalam Pasal 156a, yakni penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan yang bertujuan agar orang tidak menganut agama. Oemar Senoadji turut memasukkan delik dalam Pasal 156-157 (penghinaan terhadap golongan/penganut agama, atau dikenal dengan istilah “group libel”) ke dalam kelompok delik agama dalam pengertian yang kedua.
Sebenarnya agak sulit untuk memasukkan Pasal 156-157 ke dalam kelompok “delik terhadap agama”, karena golongan/kelompok agama tidak identik dengan “agama”. Delik ini sulit untuk dikualifikasi sehingga pada praktiknya pasal ini akan mudah ditarik ke dalam berbagai keadaan atau situasi dan rentan terhadap penyelundupan hukum. Hal semacam ini akan berbahaya dan mengancam iklim demokrasi di Indonesia, bahkan mencederai marwah “negara hukum.”
Adapun delik agama dalam pengertian yang ketiga (“yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama”) di dalam KUHP tersebar antara lain dalam Pasal 175-181 dan rancangan pasal 503 di buku II RUU KUHP yang sedang dibicarakan.
Dengan memperhatikan pengaturan pasal-pasal KUHP tersebut, terlihat jelas bahwa pada mulanya tidak ada delik yang ditujukan terhadap agama (pengertian delik agama kedua). Yang diatur dalam KUHP hanya delik-delik yang berhubungan dengan agama (pengertian ketiga). “Delik terhadap agama” (pengertian kedua) masuk pada tahun 1965 ke dalam KUHP, yaitu dengan ditambahkannya Pasal 156a ke dalam KUHP.
Dari perspektif politik hukum pidana yang hendak disasar pada masa itu dan dengan melihat aspek redaksional Pasal 156a itu, jelas terlihat bahwa delik yang dirumuskan ditujukan terhadap “agama” dan bukan pada terganggunya perasaan agama atau ketertiban masyarakat pada umumnya. Penambahan Pasal 156a ke dalam KUHP itu berdasarkan pada Pasal 4 UU No. 1/PNPS/ 1965 yang pada awalnya berbentuk Penpres. Perumusan tersebut tampak berlandaskan pada “Religionsschutz-theorie”. Dengan kata lain, ada divergensi atau ketidakharmonisan antara “status dan penjelasan delik” dengan “teks dan rumus delik”.
Ada bab khusus mengenai delik agama dalam konsep KUHP yang baru (RUU KUHP), yang berjudul “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Bab khusus ini sudah sudah direncanakan sejak konsep pertama Buku II tahun 1977 sampai dengan konsep tahun 2014 dan merupakan bagian dari upaya pembaharuan kebijakan hukum pidana di Indonesia. Konsep baru KUHP ini mengkaji ulang KUHP warisan zaman Belanda yang menempatkan delik-delik yang berkaitan dengan keagamaan ke dalam salah satu bagian dari delik terhadap “ketertiban umum”.
Problem mendasar dari hal-hal ini adalah apakah fakta bahwa agama menjadi salah satu “objek” yang dilindungi oleh negara sejalan dengan amanat konstitusi berupa jaminan kebebasan beragama? Ataukah justru politik hukum pidana telah benar-benar secara nyata menghegemoni agama dan menjadikannya sebagai alat politisasi belaka?
*Penulis, Dian Andriasari, adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung dan alumnus Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII CRCS UGM. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di satuharapan.com dengan judul Delik Agama: Hegemoni Negara terhadap Agama? Tulisan diterbitkan lagi di web ini dengan beberapa suntingan.
KUHP
Zainal Abidin Bagir | CRCS UGM | Opini
Tak sedikit tokoh, pejabat, politisi bahkan polisi yang memuji gelombang aksi protes terhadap ucapan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kontroversial itu. Pujian-pujian itu beralasan, karena meskipun kelompok yang memobilisasi atau mendukung demo tampaknya berasal dari spektrum yang amat luas, mulai dari yang sangat moderat hingga yang disebut garis keras, tuntutan akhir mereka sama, yaitu menuntut agar Ahok diproses di jalur hukum, secara adil dan berkeadilan.
Supremasi hukum demi tegaknya keadilan tentu adalah jalan beradab, demokratis dan moderat. Tapi benarkah demikian? Saya khawatir, imajinasi tentang keadaban dan sikap moderat seperti ini terlalu cetek. Tentu tidak keliru, tapi tidak cukup. Penyelesaian masalah melalui jalur hukum harus dipuji, jika alternatifnya adalah respon kekerasan. Namun, khususnya dalam kasus “penistaan agama”, ada banyak alasan untuk meragukan bahwa seruan itu adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah, dan mungkin justru tak menjanjikan keadilan.
Sebab utamanya adalah bahwa peristiwa ini (ucapan Ahok dan pembingkaian atas peristiwa itu sebagai “penistaan agama”), jika masuk pengadilan, kemungkinan besar merujuk merujuk pada Pasal 156A KUHP, yang tidak memiliki karir gemilang dalam sejarah Indonesia. Ini adalah bagian dari pasal-pasal karet “kejahatan terhadap ketertiban umum” dalam KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.
Setelah tahun 1998, target itu bergeser. Target lama tetap ada, meskipun bukan mengenai aliran-aliran kebatinan lama, tapi gerakan-gerakan baru seperti Salamullah yang dipimpin Lia Eden, atau Millah Abraham. Tak ada isu politik penting dalam mengejar kelompok-kelompok itu, namun alasan utamanya adalah “pemurnian” Islam (dan mungkin alasan soisal-ekonomi-politik lain). Selain itu, tujuan baru penggunaan pasal ini adalah sebagai upaya peminggiran intraagama, yaitu kelompok-kelompok dalam komunitas Muslim sendiri, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sebetulnya sudah eksis di Indonesia sejak jauh sebelumnya. Dalam Kristen, ada beberapa kasus serupa. Pasal penodaan agama jarang digunakan sebagai ekspresi perselisihan antaragama, kecuali dalam beberapa kasus.
Melihat rentang wilayah penggunaan pasal KUHP itu, kita bisa segera mencurigai efektifitasnya. Bagaimana mungkin keyakinan (misalnya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir dalam Islam) dijaga dengan pasal yang sama yang memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu keras (seperti di Lombok pada 2010; seorang perempuan Kristen yang mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden” Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah.
Selain rentang implementasi yang demikian luas, persoalan lain adalah amat kaburnya standar pembuktian kasus-kasus semacam itu. Kasus-kasus yang diadili dengan Pasal 156A tersebut biasanya menggunakan cara pembuktian serampangan, dengan pemilihan saksi ahli yang tak jelas standarnya pula (dalam satu kasus pada tahun 2012, seorang yang diajukan sebagai saksi ahli agama bahkan tidak lulus sekolah). Penistaan atau penodaan bukan sekadar pernyataan yang berbeda, tapi—seperti dinyatakan Pasal 156A itu—mesti bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, bahkan mesti ada maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Apakah Ahok, yang membutuhkan suara mayoritas Muslim Jakarta, berpikir untuk memusuhi mereka?
Selain itu, apakah ia dianggap menghina Islam, atau ulama? Yang dikritiknya adalah Muslim yang disebutnya membohongi pemilih DKI dengan menggunakan ayat 51 surat Al-Maidah. Apakah muslim seperti itu identik dengan Islam, sementara banyak ulama dan terjemahan Al-Qur’an memberikan tafsir berbeda?
Dalam kenyataannya, jika kasus ini masuk ke pengadilan, seperti dapat dilihat dalam banyak kasus, pertanyaan-pertanyaan tentang standar pembuktian kerap diabaikan. Yang menjadi pertimbangan yang tak kalah penting adalah “ketertiban umum” (yang menjadi judul Bab KUHP yang mengandung pasal tersebut). Persoalannya, ancaman terhadap “ketidaktertiban umum” itu lebih sering dipicu oleh pemrotes yang merasa tersinggung, dan bukan pelaku itu sendiri. Karena itulah, demonstrasi besar jilid satu dan dua pada 4 November nanti—dan bukan ucapan Ahok itu sendiri—menjadi penting sebagai dasar untuk menggelar pengadilan atas Ahok.
Pemurnian sebagai politik
Penting dilihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000, dan tiba-tiba dalam 15 tahun terakhir demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali! Apakah setelah Reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998?
Seperti halnya pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang “penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, upaya seperti ini biasanya memang menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan “kemurnian agama” (tentu dalam versi kelompok yang memiliki kuasa untuk mendiktekannya) dan tujuan politik. Pasal ini menjadi instrumen efektif untuk menjalankan politik “pemurnian” agama, yaitu penegasan kuasa politik suatu kelompok keagamaan.
Pada tahun 2010, UU ini dan Pasal 156A diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Benar MK mempertahankan pasal ini, namun perlu dilihat juga catatan panjang yang diberikan para hakim MK tentang kelemahan-kelemahannya, dan saran agar pasal ini direvisi supaya tidak diskriminatif serta mendukung pluralisme Indonesia. Bahwa ada unsur politik, bukan semata-mata pidana, dalam pasal ini, tampak dalam pertimbangan MK yang panjang, hingga mengelaborasi persoalan filosofis mengenai hubungan agama dan negara, dan sejarah Indonesia sebagai negara berketuhanan.
Bagaimana mengatasi Ahok: Imajinasi yang lebih kaya
Maka kita bisa bertanya, apa sebetulnya tujuan dari keinginan besar untuk mengadili Ahok sebagai penista agama? Soalnya mungkin bukan tentang umat Islam yang sudah seharusnya tersinggung atas upaya penistaan agamanya. Pertama, ketersinggungan itu mungkin dirasakan setelah pernyataan Ahok itu dibingkai orang dan kelompok tertentu, yang lalu memobilisasi massa. (Sekali lagi, ini mirip dengan kasus “penodaan” lain, seperti kasus kartun Denmark.)
Selain itu, jika tak ada alasan politik praktis menjelang pilgub DKI atau yang lain, tapi ini soal menjaga kemurnian agama, benarkah kita mau menggantungkan kemuliaan agama pada satu pasal karet yang sama yang telah digunakan untuk mengadili orang dengan gangguan kejiwaan, pencabut speaker masjid, seorang ibu rumah tangga yang mengomentari sesajen Hindu, atau banyak kasus-kasus lainnya?
Baca lagi –> https://islamindonesia.id/
_________
Penulis adalah seorang Dosen Center for Religious and Cross-cultural Studies – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.