Kemunculan diskursus indigenous religion atau ‘agama leluhur’ dalam studi agama dan antropologi tak lepas dari kesadaran untuk melepaskan berbagai asumsi peyorasi—seperti animisme dan primitif—pada tradisi dan praktik masyarakat adat. Akan tetapi, penggunaan “indigenous” untuk merepresentasikan tradisi dan praktik adat ini juga tidak absen dari masalah.
tarmizi abbas
Monoteisme sering dianggap sebagai puncak dari pengalaman keagamaan manusia. Tak heran, dalam studi antropologi agama, monoteisme sering disandingkan dengan gerak evolusi peradaban manusia. Karenanya, keberadaaan temuan monoteisme pada masyarakat purba menjadi antitesis dalam teori evolusi agama. Akan tetapi, ada yang alpa dalam hiruk-pikuk perdebatan tersebut.
Istilah “paganisme” umum digunakan untuk merujuk pada praktik dan tradisi para penyembah berhala. Dalam sejarah, istilah ini lazim digunakan oleh komunitas Kristen awal di Romawi pada abad ke-4 guna membedakan keimanan mereka dari praktik dan tradisi para pemuja dewa. Namun, benarkah pemaknaan ini?
Sebelum gerakan ekologi modern diteorisasi, komunitas-komunitas adat atau agama lokal di pelbagai penjuru dunia merupakan kelompok yang menerjemahkan kesadaran ekologis dalam kehidupan sehari-hari dan berbasis pada kepercayaan religius yang melekat erat dalam kepercayaan mereka serta mendorong lahirnya aksi perlawanan terhadap para perusak alam. Salah satunya ialah gerakan Chipko di Uttar Pradesh, India.
Sejarah evolusi primata yang melahirkan manusia memperlihatkan sebuah diskontinuitas. Berbeda dari anggota keluarga primata lain yang dekat secara genetik seperti simpanse dan gorila, manusia memiliki kapasitas untuk percaya.
Melalui karyanya 'The Meaning and End of Religion', Smith tidak luput dari sejumlah kritik, tetapi ia menjadi pelopor kajian studi agama yang dapat mengakomodasi ekspresi keyakinan di luar-luar agama-agama dunia.