Husni Mubarok | CRCS | Jurnal Kelas
Dua pandangan kerap muncul ketika terjadi kekerasan yang kental bernuansa keagamaan, seperti yang saat ini terjadi terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar: (1) pandangan yang menilai agama sebagai biang keladi atau penyebab utama kekerasan dan (2) pandangan yang menilai agama sekadar alat yang dipakai oleh pihak yang sedang berkonflik.
Kedua pandangan ini tidak cukup dalam mengurai kompleksitas persoalan, dan hingga tingkat tertentu malah memperkeruhnya. Yang pertama justru mengonfirmasi narasi yang berperan penting dalam mengobarkan konflik, sementara yang kedua cenderung abai bahwa faktor agama riil berada di antara lapis-lapis sengkarut permasalahan.
Sebagaimana diberitakan di media, Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine kembali mengalami kekerasan sejak Jumat pekan lalu. Polisi dan militer Myanmar membakar rumah perkampungan mereka. Tak hanya itu, mereka yang berusaha melarikan diri menggunakan kapal tongkang ditembaki aparat. Setidaknya 20 mayat perempuan dan anak-anak terbawa arus dan muncul di sungai di Bangladesh, negara tetangga yang menjadi tujuan pelarian mereka.
Primordialis
Di antara wacana yang kemudian muncul dalam perbincangan populer ialah bahwa tragedi Rohingya itu memang persoalan agama, mengingat yang dibantai hanya Muslim. Asumsi yang mendasari wacana semacam ini sebenarnya bukan hal yang baru. Pandangan bahwa agama menyediakan perangkat identitas yang rentan memecah-belah masyarakat dan karena itu menyebabkan terjadinya kekerasan pernah dikemukakan beberapa sarjana. Samuel Huntington, Gilles Kepel, Jeffrey Seul, and Bassam Tibi adalah sekian di antara para sarjana yang berpandangan demikian. Mereka berargumen bahwa agama adalah karakter penting peradaban. Perang yang terjadi setelah Perang Dingin adalah perang antara peradaban Barat, yang mewarisi tradisi keagamaan Kristen, melawan peradaban Islam. Mengikuti pembagian yang dibuat Hasenclever dan Rittberger (2000) mengenai hubungan agama dan kekerasan, pandangan ini masuk dalam kategori mazhab “primordialis”, yang menyatakan bahwa kekerasan adalah elemen potensial yang sudah inheren dalam agama-agama.
Pandangan primordialis ini simplistis. Pada kenyataannya, kekerasan-kekerasan yang kental bernuansa keagamaan tidak selalu membagi dua umat beragama yang berbeda dan sedang berseteru dalam posisi biner dan homogen. Dalam fenomena yang acapkali disebut “Perang Agama” di Eropa abad 16, dalam masa menjelang era Pencerahan, Katolik di Prancis secara periodik melawan Katolik lain yang berada di kekuasaan. Di negara-negara Eropa lain, orang-orang Katolik beraliansi dengan orang-orang Protestan melawan rezim yang bersekutu dengan Gereja Katolik. Di samping itu, dalam hal kerentanan terhadap kekerasan, tragedi yang memakan korban jutaan di abad 20 dan termasuk di antara yang terbesar dalam sejarah manusia justru dilakukan atas nama ideologi-ideologi “sekuler” seperti nasionalisme dan komunisme. Mengikuti perspektif Cavanaugh (2009), pandangan bahwa agama rentan terhadap kekerasan, seraya melupakan elemen-elemen “sekuler” dalam konflik, telah membangun “mitos kekerasan agama”.
Instrumentalis
Berbeda dari pandangan primordialis, sebagian orang meyakini bahwa agama adalah alat legitimasi penguasa untuk menjaga kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam tragedi di Myanmar itu, mereka menyatakan bahwa kasus Rohingya sama sekali tidak terkait dengan agama; itu bukan konflik agama, melainkan konflik sosial kemanusiaan.
Pandangan semacam ini, dalam kategorisasi Hasenclever dan Rittberger, disebut pandangan “instrumentalis”. Graham Fuller, Ted Robbert Gurr, dan Thomas Meyer adalah di antara para sarjana yang berada di arus pandangan ini. Mereka menilai semua kasus kekerasan, bernuansa agama sekalipun, adalah perkembangan dari perselisihan sosial, ekonomi, dan politik. Bagi mereka, agama terlibat dalam berbagai perang bukan karena ketegangan teologis, melainkan distribusi kekuasaan dan kekayaan yang tidak merata.
Dalam pandangan mazhab instrumentalis, politisasi agama dan radikalisme biasanya terjadi dalam suasana krisis ekonomi, disintegrasi sosial, atau negara yang lemah pada saat transisi. Dalam situasi demikian, politisi memanfaatkan narasi agama sebagai alat untuk memobilisasi massa. Para sarjana instrumentalis juga berargumen bahwa lebih banyak kekerasan terjadi di negara yang homogen secara agama, seperti di Somalia atau Rwanda.
Pandangan instrumentalis ini menafikan keagenan (agency) pemuka agama dalam kekerasan yang melibatkan dimensi agama. Kaum instrumentalis masih mengakui gerakan berbasis agama, tetapi tidak lebih sebagai alat politik. Jika sekadar alat, seharusnya penganut agama bisa pindah-pindah keberpihakan ketika ada ketegangan yang melibatkan agama tergantung siapa yang paling ingin mereka bela. Faktanya, biksu Wirathu bersama Ma Ba Ta konsisten pada pendiriannya untuk memerangi Muslim Rohingya, dan pemerintah mendengarkan mereka.
Konstruktivis
Untuk mengatasi kelemahan kedua perspektif di atas, beberapa sarjana menawarkan jalan tengah, yang disebut Hasenclever dan Rittberger sebagai mazhab “konstruktivis”. Perspektif ini mengakui bahwa konflik sosial melekat pada struktur pikiran seseorang, yang bisa jadi berupa ideologi, nasionalisme, etnis, dan agama. Kesamaan pikiran dan perasaan pada umat beragama itu tidak bisa diabaikan. Karena ada kesamaan itulah mobilisasi menggunakan agama sangat mungkin dilakukan dan efektif. Akan tetapi, agar kesamaan pikiran itu bisa dipakai, perlu ada ideolog atau juru bicara yang fasih menggunakan bahasa dan logika kaum beragama pada waktu dan tempat tertentu yang strategis.
Konstruktivis agak dekat dengan instrumentalis ketika menekankan pentingnya dinamika kekuasaan dan kepentingan. Bedanya, instrumentalis menilai agama sekadar alat dan tak memiliki peran esensial sama sekali, sementara konstruktivis berpandangan bahwa faktor agama memiliki agensi yang riil dalam konflik, meski perannya tidak independen dari dinamika kekuasaan dan kepentingan yang lebih mendasar. Konstruktivis menilai faktor agama turut berkontribusi, meski bukan di lapis paling dasar, dalam silang-sengkarut konflik yang melibatkan simbol atau identitas keagamaan.
Merujuk tiga perspektif di atas, cara pandang primordialis dan instrumentalis tidak cukup dalam memahami konflik kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar. Kaum primordialis yang menganggap agama Buddha sebagai biang keladi tidak bisa menjelaskan kenapa Muslim Rohingya yang dianiaya dan bukan Muslim yang tinggal di Yangon, misalnya? Pada saat yang sama, serangan kekerasan juga menyasar suku Kachin yang multiagama di negara bagian Myanmar lain. Perspektif semacam ini cenderung mengabaikan elemen yang bisa jadi lebih mendasar perannya ketimbang agama, yaitu etnisitas (orang-orang Rohingya beretnis Bengali) dan, lebih mendasar lagi, isu identitas kewarganegaraan yang dikonstruksi ketika Myanmar berada dalam proses menjadi negara-bangsa.
Sementara itu, perspektif instrumentalis tidak bisa menjelaskan peran sentral organisasi Ma Ba Ta di bawah pimpinan Wirathu dalam memberi legitimasi baik kepada pemerintah maupun masyarakat atas genosida terhadap Muslim Rohingya. Dalam banyak kesempatan, ia menggunakan narasi agama, bahwa agenda Islamisasi membahayakan eksistensi agama Buddha, agama yang menjadi penanda utama identitas ke-Burma-an. Belakangan muncul Tentara Penyelamat Rohingya Arakan, gerakan gerilya melawan militer Myanmar, yang kemudian disemati label teroris.
Kedua hal di atas, peran narasi agama dan kepentingan politik harus disasar. Konflik Rohingnya ini berlapis-lapis dan tidak bisa disimplikasi secara hitam-putih. Di sana ada elemen etnisitas (Bengali dan Burma), agama (Islam dan Buddha), dan kewarganegaraan (Bangladesh dan Myanmar) yang berjalin-kelindan dan akarnya dapat ditarik mundur bahkan hingga masa ketika Myanmar belum merdeka. Karena itu, upaya untuk merundingkan ulang isu-isu dasar seperti ini harus ditempuh di tingkat antarnegara dengan sokongan dari negara-negara Asia Tenggara. Ini perlu jika masalah ingin diselesaikan dengan cara yang bisa meminimalisasi kekerasan. Tanpa perundingan di level antarnegara ini, kekerasan akan terus berlanjut dan isu agama dan etnis bisa jadi makin mengental. Ketika itu terjadi, lingkaran kekerasan makin rumit untuk diurai.
*Penulis, Husni Mubarok, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017. Tulisan ini adalah refleksi dari kelas Religion, Violence and Peacebuilding, salah satu matakuliah yang ditawarkan CRCS semester ini.
Leave A Comment
Comment (1)
Tragedi Rohingya dan Diskursus Kekerasan Agama
Husni Mubarok | CRCS | Jurnal Kelas
Dua pandangan kerap muncul ketika terjadi kekerasan yang kental bernuansa keagamaan, seperti yang saat ini terjadi terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar: (1) pandangan yang menilai agama sebagai biang keladi atau penyebab utama kekerasan dan (2) pandangan yang menilai agama sekadar alat yang dipakai oleh pihak yang sedang berkonflik.
Kedua pandangan ini tidak cukup dalam mengurai kompleksitas persoalan, dan hingga tingkat tertentu malah memperkeruhnya. Yang pertama justru mengonfirmasi narasi yang berperan penting dalam mengobarkan konflik, sementara yang kedua cenderung abai bahwa faktor agama riil berada di antara lapis-lapis sengkarut permasalahan.
Sebagaimana diberitakan di media, Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine kembali mengalami kekerasan sejak Jumat pekan lalu. Polisi dan militer Myanmar membakar rumah perkampungan mereka. Tak hanya itu, mereka yang berusaha melarikan diri menggunakan kapal tongkang ditembaki aparat. Setidaknya 20 mayat perempuan dan anak-anak terbawa arus dan muncul di sungai di Bangladesh, negara tetangga yang menjadi tujuan pelarian mereka.
Primordialis
Di antara wacana yang kemudian muncul dalam perbincangan populer ialah bahwa tragedi Rohingya itu memang persoalan agama, mengingat yang dibantai hanya Muslim. Asumsi yang mendasari wacana semacam ini sebenarnya bukan hal yang baru. Pandangan bahwa agama menyediakan perangkat identitas yang rentan memecah-belah masyarakat dan karena itu menyebabkan terjadinya kekerasan pernah dikemukakan beberapa sarjana. Samuel Huntington, Gilles Kepel, Jeffrey Seul, and Bassam Tibi adalah sekian di antara para sarjana yang berpandangan demikian. Mereka berargumen bahwa agama adalah karakter penting peradaban. Perang yang terjadi setelah Perang Dingin adalah perang antara peradaban Barat, yang mewarisi tradisi keagamaan Kristen, melawan peradaban Islam. Mengikuti pembagian yang dibuat Hasenclever dan Rittberger (2000) mengenai hubungan agama dan kekerasan, pandangan ini masuk dalam kategori mazhab “primordialis”, yang menyatakan bahwa kekerasan adalah elemen potensial yang sudah inheren dalam agama-agama.
Pandangan primordialis ini simplistis. Pada kenyataannya, kekerasan-kekerasan yang kental bernuansa keagamaan tidak selalu membagi dua umat beragama yang berbeda dan sedang berseteru dalam posisi biner dan homogen. Dalam fenomena yang acapkali disebut “Perang Agama” di Eropa abad 16, dalam masa menjelang era Pencerahan, Katolik di Prancis secara periodik melawan Katolik lain yang berada di kekuasaan. Di negara-negara Eropa lain, orang-orang Katolik beraliansi dengan orang-orang Protestan melawan rezim yang bersekutu dengan Gereja Katolik. Di samping itu, dalam hal kerentanan terhadap kekerasan, tragedi yang memakan korban jutaan di abad 20 dan termasuk di antara yang terbesar dalam sejarah manusia justru dilakukan atas nama ideologi-ideologi “sekuler” seperti nasionalisme dan komunisme. Mengikuti perspektif Cavanaugh (2009), pandangan bahwa agama rentan terhadap kekerasan, seraya melupakan elemen-elemen “sekuler” dalam konflik, telah membangun “mitos kekerasan agama”.
Instrumentalis
Berbeda dari pandangan primordialis, sebagian orang meyakini bahwa agama adalah alat legitimasi penguasa untuk menjaga kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam tragedi di Myanmar itu, mereka menyatakan bahwa kasus Rohingya sama sekali tidak terkait dengan agama; itu bukan konflik agama, melainkan konflik sosial kemanusiaan.
Pandangan semacam ini, dalam kategorisasi Hasenclever dan Rittberger, disebut pandangan “instrumentalis”. Graham Fuller, Ted Robbert Gurr, dan Thomas Meyer adalah di antara para sarjana yang berada di arus pandangan ini. Mereka menilai semua kasus kekerasan, bernuansa agama sekalipun, adalah perkembangan dari perselisihan sosial, ekonomi, dan politik. Bagi mereka, agama terlibat dalam berbagai perang bukan karena ketegangan teologis, melainkan distribusi kekuasaan dan kekayaan yang tidak merata.
Dalam pandangan mazhab instrumentalis, politisasi agama dan radikalisme biasanya terjadi dalam suasana krisis ekonomi, disintegrasi sosial, atau negara yang lemah pada saat transisi. Dalam situasi demikian, politisi memanfaatkan narasi agama sebagai alat untuk memobilisasi massa. Para sarjana instrumentalis juga berargumen bahwa lebih banyak kekerasan terjadi di negara yang homogen secara agama, seperti di Somalia atau Rwanda.
Pandangan instrumentalis ini menafikan keagenan (agency) pemuka agama dalam kekerasan yang melibatkan dimensi agama. Kaum instrumentalis masih mengakui gerakan berbasis agama, tetapi tidak lebih sebagai alat politik. Jika sekadar alat, seharusnya penganut agama bisa pindah-pindah keberpihakan ketika ada ketegangan yang melibatkan agama tergantung siapa yang paling ingin mereka bela. Faktanya, biksu Wirathu bersama Ma Ba Ta konsisten pada pendiriannya untuk memerangi Muslim Rohingya, dan pemerintah mendengarkan mereka.
Konstruktivis
Untuk mengatasi kelemahan kedua perspektif di atas, beberapa sarjana menawarkan jalan tengah, yang disebut Hasenclever dan Rittberger sebagai mazhab “konstruktivis”. Perspektif ini mengakui bahwa konflik sosial melekat pada struktur pikiran seseorang, yang bisa jadi berupa ideologi, nasionalisme, etnis, dan agama. Kesamaan pikiran dan perasaan pada umat beragama itu tidak bisa diabaikan. Karena ada kesamaan itulah mobilisasi menggunakan agama sangat mungkin dilakukan dan efektif. Akan tetapi, agar kesamaan pikiran itu bisa dipakai, perlu ada ideolog atau juru bicara yang fasih menggunakan bahasa dan logika kaum beragama pada waktu dan tempat tertentu yang strategis.
Konstruktivis agak dekat dengan instrumentalis ketika menekankan pentingnya dinamika kekuasaan dan kepentingan. Bedanya, instrumentalis menilai agama sekadar alat dan tak memiliki peran esensial sama sekali, sementara konstruktivis berpandangan bahwa faktor agama memiliki agensi yang riil dalam konflik, meski perannya tidak independen dari dinamika kekuasaan dan kepentingan yang lebih mendasar. Konstruktivis menilai faktor agama turut berkontribusi, meski bukan di lapis paling dasar, dalam silang-sengkarut konflik yang melibatkan simbol atau identitas keagamaan.
Merujuk tiga perspektif di atas, cara pandang primordialis dan instrumentalis tidak cukup dalam memahami konflik kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar. Kaum primordialis yang menganggap agama Buddha sebagai biang keladi tidak bisa menjelaskan kenapa Muslim Rohingya yang dianiaya dan bukan Muslim yang tinggal di Yangon, misalnya? Pada saat yang sama, serangan kekerasan juga menyasar suku Kachin yang multiagama di negara bagian Myanmar lain. Perspektif semacam ini cenderung mengabaikan elemen yang bisa jadi lebih mendasar perannya ketimbang agama, yaitu etnisitas (orang-orang Rohingya beretnis Bengali) dan, lebih mendasar lagi, isu identitas kewarganegaraan yang dikonstruksi ketika Myanmar berada dalam proses menjadi negara-bangsa.
Sementara itu, perspektif instrumentalis tidak bisa menjelaskan peran sentral organisasi Ma Ba Ta di bawah pimpinan Wirathu dalam memberi legitimasi baik kepada pemerintah maupun masyarakat atas genosida terhadap Muslim Rohingya. Dalam banyak kesempatan, ia menggunakan narasi agama, bahwa agenda Islamisasi membahayakan eksistensi agama Buddha, agama yang menjadi penanda utama identitas ke-Burma-an. Belakangan muncul Tentara Penyelamat Rohingya Arakan, gerakan gerilya melawan militer Myanmar, yang kemudian disemati label teroris.
Kedua hal di atas, peran narasi agama dan kepentingan politik harus disasar. Konflik Rohingnya ini berlapis-lapis dan tidak bisa disimplikasi secara hitam-putih. Di sana ada elemen etnisitas (Bengali dan Burma), agama (Islam dan Buddha), dan kewarganegaraan (Bangladesh dan Myanmar) yang berjalin-kelindan dan akarnya dapat ditarik mundur bahkan hingga masa ketika Myanmar belum merdeka. Karena itu, upaya untuk merundingkan ulang isu-isu dasar seperti ini harus ditempuh di tingkat antarnegara dengan sokongan dari negara-negara Asia Tenggara. Ini perlu jika masalah ingin diselesaikan dengan cara yang bisa meminimalisasi kekerasan. Tanpa perundingan di level antarnegara ini, kekerasan akan terus berlanjut dan isu agama dan etnis bisa jadi makin mengental. Ketika itu terjadi, lingkaran kekerasan makin rumit untuk diurai.
*Penulis, Husni Mubarok, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017. Tulisan ini adalah refleksi dari kelas Religion, Violence and Peacebuilding, salah satu matakuliah yang ditawarkan CRCS semester ini.
This acticle really give me much experinces exactly about religious and others issues