
Hafalan Shalat Delisa menghadirkan persoalan agama dan disabilitas di ruang publik, tetapi masih mengabaikan tantangan realitas penyandang disabilitas.
Pada 2011, Hafalan Shalat Delisa tayang di bioskop dengan kisah yang diadaptasi dari novel karya Tere Liye berjudul serupa. Film ini berkisah sosok Delisa yang kehilangan anggota tubuhnya akibat semong Aceh 2004 tetapi tetap melanjutkan kehidupan sehari-harinya untuk menghafal gerakan salat.
Film ini memantik Budi Irawanto, peneliti Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, untuk mengkaji representasi individu beragama penyandang disabilitas yang selama ini jarang dibahas di perfilman Indonesia. Menurutnya, representasi disabilitas dalam Hafalan Shalat Delisa menuai kritik dan pujian sekaligus: menyajikan cerita tentang penyandang disabilitas, tetapi juga menjadikannya sebagai sosok liyan. Hasil analisis itu ia presentasikan dalam Wednesday Forum (12/3), bertajuk “Through a Screen Darkly: Looking Closer at Disability and Religion in the Indonesia Film”.
Islam dan disabilitas dalam Hafalan Shalat Delisa
Islam memberi ruang kepada disabilitas sebagai bagian dari sifat alami manusia yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan hadis. Konsep “disabilitas”, dalam konteks secara umum, tidak ditemukan dalam Al-Qur’an (Bazna & Hatab, 2005). Al-Qur’an berfokus pada gagasan “kerugian yang diakibatkan oleh struktur sosial” untuk merujuk kalangan berkebutuhan khusus. Lebih lanjut, Al-Aoufi dkk. (2012, p.2026) menerangkan, Islam memberi sikap positif kepada disabilitas sebagai kalangan yang membutuhkan dan kurang beruntung. Hak-hak individu yang berkekurangan harus dipenuhi sebagai tanggung jawab masyarakat dengan merawat dan meningkatkan kondisinya.
Ada perbedaan cara pandang secara tradisional di beberapa negara muslim menanggapi disabilitas berkaitan makna moral atau agama. Sebagian di antaranya memandang disabilitas sebagai berkah, sementara yang lain menganggapnya sebagai kutukan yang berkaitan dengan dosa individu.
Ragam cara pandang masyarakat beragama bisa ditemukan dalam Hafalan Shalat Delisa. Delisa hidup di lingkungan Aceh yang kuat dengan tradisi keislaman. Dalam pengamatannya, kondisi Delisa digambarkan sebagai ujian keimanan yang mewujudkan moralitas agama yang tinggi dalam menghadapi rasa sakit dan hambatan-hambatan lainnya. “Dalam plot, Delisa digambarkan ceria. Jika Delisa seskali mengalami kesedihan, itu dikaitkan dengan kehilangan ibu dan saudari-saudarinya karena semong, bukan meratapi disabilitasnya,” kritik Budi.
Sosok Delisa digambarkan tekun mempelajari bacaan salat yang membuatnya jadi panutan teman-teman dan komunitas nondisabilitas—alih-alih usahanya menghadapi tantangan kurangnya fasilitas dan lingkungan sekitarnya yang tidak inklusif. Citra ini dianggap sebagai inspiration porn lewat objektifikasi penyandang disabilitas sebagai inspirasi audiens nondisabilitas.
Film ini juga menggambarkan disabilitas sebagai hasil tragedi pribadi dengan menekankan aspek ketaatan dan ketakwaan Delisa. Padahal, penyandang disabilitas selama ini kurang mendapatkan perhatian di kalangan masyarakat. Salah satu momentum penyandang disabilitas mendapatkan perhatian lebih adalah ketika ia mencapai keberhasilannya yang luar biasa terlebih dahulu. Padahal, terang Budi, ada banyak hambatan dari lingkungan sekitarnya yang seharusnya dibangun inklusif tanpa harus membuat penyandang disabilitas harus bersusah payah terlebih dahulu.
Hal ini mengingatkan kita bagaimana tayangan paralimpiade dimanfaatkan sebagai inspirational porn. Kerap kali, para atlet paralimpiade menjadi inspirasi audiens nondisabilitas untuk terus berusaha. Para atlet itu terus mendapat sorotan setelah keberhasilannya dalam kompetisi, tetapi lingkungan kesehariannya yang tidak inklusif justru diabaikan.
Representasi Disabilitas dalam Industri Film Indonesia
Selain Hafalan Shalat Delisa, sejumlah film Indonesia memberikan ruang cerita tentang disabilitas seperti Ayah Mengapa Aku Berbeda (2011), Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta (2013), My Idiot Brother (2014), Nussa (2021), Miracle Cell No.7 (2022), dan Why Do You Love Me? (2023). Film-film tersebut mengangkat tema disabilitas yang berkelindan dengan isu lainnya.
Meski penyandang disabilitas jadi pusat cerita, industri produksi film tidak memberikan ruang yang adil untuk melibatkan penyandang disabilitas. Budi menegaskan, hal ini berdampak pada keadilan dalam keterlibatan penyandang disabilitas pada ruang industri film. Dampaknya, audiens menjadi salah dalam memahami isu disabilitas baik dari segi gerakan, kehidupan sehari-hari, dan kebutuhan penyandang.
Contohnya dalam Hafalan Shalat Delisa, Budi mengkritisi permasalahan representasi aktris disabilitas dengan Delisa yang diperankan Chantiq Schagerl. Pada bagian pertengahan film, Delisa tidak diperankan seperti disabilitas oleh Chantiq. Bagi Budi, pemeranan seperti ini tidak menunjukkan karakteristik dan perilaku yang sesuai sehingga dapat gagal untuk memahami kondisi kehidupan keseharian seorang penyandang disabilitas tanpa kaki.
Absennya representasi ini disebabkan faktor industri perfilman untuk mendapatkan lebih banyak penonton dan keuntungan. Standar kecantikan dan popularitas, termasuk sosok tersohor di media sosial, akan lebih mudah dipilih dalam casting karena akan memikat penonton daripada memiliki kapabilitas dalam seni peran. Industri film juga tidak harus mempertimbangkan pengeluaran berlebih seperti pendamping aktor atau kru film penyandang disabilitas.
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari dokumentasi Etty Indriati.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.
Sumber foto tajuk artikel ini: Starvisionplus (2011)