• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Laporan Wednesday Forum
  • Yang Tidak Ditayangkan Ketika Menayangkan Disabilitas

Yang Tidak Ditayangkan Ketika Menayangkan Disabilitas

  • Laporan Wednesday Forum, Wednesday Forum Report
  • 9 April 2025, 08.57
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Hafalan Shalat Delisa menghadirkan persoalan agama dan disabilitas di ruang publik, tetapi masih mengabaikan tantangan realitas penyandang disabilitas.

Pada 2011, Hafalan Shalat Delisa tayang di bioskop dengan kisah yang diadaptasi dari novel karya Tere Liye berjudul serupa. Film ini berkisah sosok Delisa yang kehilangan anggota tubuhnya akibat semong Aceh 2004 tetapi tetap melanjutkan kehidupan sehari-harinya untuk menghafal gerakan salat.

Film ini memantik Budi Irawanto, peneliti Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, untuk mengkaji representasi individu beragama penyandang disabilitas yang selama ini jarang dibahas di perfilman Indonesia. Menurutnya, representasi disabilitas dalam Hafalan Shalat Delisa menuai kritik dan pujian sekaligus: menyajikan cerita tentang penyandang disabilitas, tetapi juga menjadikannya sebagai sosok liyan. Hasil analisis itu ia presentasikan dalam Wednesday Forum (12/3), bertajuk “Through a Screen Darkly: Looking Closer at Disability and Religion in the Indonesia Film”.

Islam dan disabilitas dalam Hafalan Shalat Delisa

Islam memberi ruang kepada disabilitas sebagai bagian dari sifat alami manusia yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan hadis. Konsep “disabilitas”, dalam konteks secara umum, tidak ditemukan dalam Al-Qur’an (Bazna & Hatab, 2005). Al-Qur’an berfokus pada gagasan “kerugian yang diakibatkan oleh struktur sosial” untuk merujuk kalangan berkebutuhan khusus. Lebih lanjut, Al-Aoufi dkk. (2012, p.2026) menerangkan, Islam memberi sikap positif kepada disabilitas sebagai kalangan yang membutuhkan dan kurang beruntung. Hak-hak individu yang berkekurangan harus dipenuhi sebagai tanggung jawab masyarakat dengan merawat dan meningkatkan kondisinya.

Ada perbedaan cara pandang secara tradisional di beberapa negara muslim menanggapi disabilitas berkaitan makna moral atau agama. Sebagian di antaranya memandang disabilitas sebagai berkah, sementara yang lain menganggapnya sebagai kutukan yang berkaitan dengan dosa individu.

Ragam cara pandang masyarakat beragama bisa ditemukan dalam Hafalan Shalat Delisa. Delisa hidup di lingkungan Aceh yang kuat dengan tradisi keislaman. Dalam pengamatannya, kondisi Delisa digambarkan sebagai ujian keimanan yang mewujudkan moralitas agama yang tinggi dalam menghadapi rasa sakit dan hambatan-hambatan lainnya. “Dalam plot, Delisa digambarkan ceria. Jika Delisa seskali mengalami kesedihan, itu dikaitkan dengan kehilangan ibu dan saudari-saudarinya karena semong, bukan meratapi disabilitasnya,” kritik Budi. 

Sosok Delisa digambarkan tekun mempelajari bacaan salat yang membuatnya jadi panutan teman-teman dan komunitas nondisabilitas—alih-alih usahanya menghadapi tantangan kurangnya fasilitas dan lingkungan sekitarnya yang tidak inklusif. Citra ini dianggap sebagai inspiration porn lewat objektifikasi penyandang disabilitas sebagai inspirasi audiens nondisabilitas.

Film ini juga menggambarkan disabilitas sebagai hasil tragedi pribadi dengan menekankan aspek ketaatan dan ketakwaan Delisa. Padahal, penyandang disabilitas selama ini kurang mendapatkan perhatian di kalangan masyarakat. Salah satu momentum penyandang disabilitas mendapatkan perhatian lebih adalah ketika ia mencapai keberhasilannya yang luar biasa terlebih dahulu. Padahal, terang Budi, ada banyak hambatan dari lingkungan sekitarnya yang seharusnya dibangun inklusif tanpa harus membuat penyandang disabilitas harus bersusah payah terlebih dahulu.

Hal ini mengingatkan kita bagaimana tayangan paralimpiade dimanfaatkan sebagai inspirational porn. Kerap kali, para atlet paralimpiade menjadi inspirasi audiens nondisabilitas untuk terus berusaha. Para atlet itu terus mendapat sorotan setelah keberhasilannya dalam kompetisi, tetapi lingkungan kesehariannya yang tidak inklusif justru diabaikan.

Representasi Disabilitas dalam Industri Film Indonesia

Selain Hafalan Shalat Delisa, sejumlah film Indonesia memberikan ruang cerita tentang disabilitas seperti Ayah Mengapa Aku Berbeda (2011), Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta (2013), My Idiot Brother (2014), Nussa (2021), Miracle Cell No.7 (2022), dan Why Do You Love Me? (2023). Film-film tersebut mengangkat tema disabilitas yang berkelindan dengan isu lainnya.

Meski penyandang disabilitas jadi pusat cerita, industri produksi film tidak memberikan ruang yang adil untuk melibatkan penyandang disabilitas. Budi menegaskan, hal ini berdampak pada keadilan dalam keterlibatan penyandang disabilitas pada ruang industri film. Dampaknya, audiens menjadi salah dalam memahami isu disabilitas baik dari segi gerakan, kehidupan sehari-hari, dan kebutuhan penyandang.

Contohnya dalam Hafalan Shalat Delisa, Budi mengkritisi permasalahan representasi aktris disabilitas dengan Delisa yang diperankan Chantiq Schagerl. Pada bagian pertengahan film, Delisa tidak diperankan seperti disabilitas oleh Chantiq. Bagi Budi, pemeranan seperti ini tidak menunjukkan karakteristik dan perilaku yang sesuai sehingga dapat gagal untuk memahami kondisi kehidupan keseharian seorang penyandang disabilitas tanpa kaki.

Absennya representasi ini disebabkan faktor industri perfilman untuk mendapatkan lebih banyak penonton dan keuntungan. Standar kecantikan dan popularitas, termasuk sosok tersohor di media sosial, akan lebih mudah dipilih dalam casting karena akan memikat penonton daripada memiliki kapabilitas dalam seni peran. Industri film juga tidak harus mempertimbangkan pengeluaran berlebih seperti pendamping aktor atau kru film penyandang disabilitas.

______________________

Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.

Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor  4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.

Sumber foto tajuk artikel ini: Starvisionplus (2011)

Tags: afkar aristoteles mukhaer disabilitas Film

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Faith could be cruel. It can be used to wound thos Faith could be cruel. It can be used to wound those we might consider "the other". Yet, rather than abandoning their belief, young queer Indonesians choose to heal by re-imagining it. The Rainbow Pilgrimage is a journey through pain and prayer, where love becomes resistance and spirituality turns into shelter. Amidst the violence, they walk not away from faith, but towards a kinder, more human divine. 

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
H I J A U "Hijau" punya banyak spektrum dan metrum H I J A U
"Hijau" punya banyak spektrum dan metrum, jangan direduksi menjadi cuma soal setrum. Hijau yang sejati ialah yang menghidupi, bukan hanya manusia melainkan juga semesta. Hati-hati karena ada yang pura-pura hijau, padahal itu kelabu. 

Simak kembali perbincangan panas terkait energi panas bumi bersama ahli panas bumi, pegiat lingkungan, dan kelompok masyarakat terdampak di YouTube CRCS UGM.
T E M U Di antara sains yang mencari kepastian, a T E M U

Di antara sains yang mencari kepastian, agama yang mencari makna, dan tradisi yang merawati relasi, kita duduk di ruang yang sama dan mendengarkan gema yang tak selesai. Bukan soal siapa yang benar, melainkan  bagaimana kita tetap mau bertanya. 

Tak sempat gabung? Tak perlu kecewa, kamu dapat menyimak rekamannya di YouTube CRCS.
Dance is a bridge between two worlds often separat Dance is a bridge between two worlds often separated by distance and differing histories. Through Bharata Natyam, which she learned from Indu Mitha, Aslam's dances not only with her body, but also with the collective memory of her homeland and the land she now loves. There is beauty in every movement, but more than that, dance becomes a tool of diplomacy that speaks a language that needs no words. From Indus to Java, dance not only inspires but also invites us to reflect, that even though we come from different backgrounds, we can dance towards one goal: peace and mutual understanding. Perhaps, in those movements, we discover that diversity is not a distance, but a bridge we must cross together.

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY