Transpuan dan Hak Demokrasi yang Terabaikan
Nita Amriani – 11 November 2024
Apakah seorang transpuan lahir hanya untuk mengecap pedihnya bayang-bayang persekusi dan menjadi pelengkap suara pemilu?
Diskriminasi dan stigma berlapis menyingkirkan kelompok transpuan dari hak-hak dasar sebagai warga negara. Banyak transpuan sulit mengakses pekerjaan dan hidup dalam ancaman persekusi. Di sisi lain, mereka juga tak lagi punya ruang aman di rumah karena keluarga mereka tidak lagi mau menerimanya. Bagi kelompok transpuan, konsep keadilan dalam sila ke-5 Pancasila masih jauh api dari panggang.
World Health Organization (2021) mendefinisikan transpuan sebagai seseorang yang ditetapkan sebagai laki-laki saat lahir tetapi memiliki identitas gender sebagai perempuan. Beberapa transpuan memutuskan untuk menjalani berbagai proses medis untuk beradaptasi dengan identitas gender mereka. Namun, ini tidak menjamin penerimaan dari masyarakat luas. Mayoritas masyarakat menganggap keberadaan transpuan sebagai perilaku menyimpang. Di sisi lain, kurangnya representasi positif transpuan dalam media, politik, dan ruang publik semakin memperparah stigma.
Yuni Shara al Buchori, pimpinan Pondok Pesantren Waria, dalam Forum Kamisan Daring (18/07) menyatakan bahwa stigma yang melekat pada kelompok transpuan berimplikasi pada kesulitan memperoleh pekerjaan. Mereka ditolak bahkan sebelum menunjukkan kualifikasi dan kemampuanya. Diskriminasi tersebut terjadi secara terang-terangan maupun terselubung. Hal ini memaksa transpuan untuk mempertahankan hidupnya dengan berbagai cara, dari mengamen hingga menjadi pekerja seks komersial.
Transpuan juga sering kali menghadapi lingkungan kerja yang tidak ramah. Jika berhasil mendapatkan pekerjaan, mereka tak jarang menjadi sasaran pelecehan atau diskriminasi dari rekan kerja maupun atasan. Ketidaksetaraan ini diperparah oleh kurangnya kebijakan yang melindungi hak-hak transpuan di banyak tempat. Sebagian besar perusahaan belum memiliki kebijakan yang secara eksplisit melindungi pekerja transpuan dari diskriminasi. Pada akhirnya, hal ini memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi yang mereka hadapi.
Di tengah ketimpangan dalam mengakses pekerjaan, beberapa pemerintah daerah malah mengeluarkan regulasi pelarangan aktivitas oleh pengamen dan anak jalanan seperti Perda Kota Bengkulu No. 7 Tahun 2017 dan Kota Samarinda bernomor serupa. Regulasi ini kian mempersempit ruang kesempatan kerja para transpuan. Menurut Yuni, jika negara melarang transpuan mengamen, seharusnya pemerintah hadir dengan mengakomodasi lapangan pekerjaan dan jaminan keamanan secara tertulis terhadap mereka.
Di tengah kompleksitas problematika yang dihadapi oleh transpuan di Indonesia, mereka tetap menjalankan haknya sebagai warga negara, salah satunya dengan berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Namun, sejauh ini kewajiban negara untuk melindungi kelompok rentan ini masih minim. Lantas timbul pertanyaan, apakah eksistensi mereka diakui saat pemilihan politik saja?
Undang-Undang 1945 secara tegas dan jelas menjamin hak asasi bagi warga negara dalam memperoleh kepastian hukum. Di samping memastikan hak asasi manusia melalui UUD 1945, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 mengenai ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Interpretasi yang lebih inklusif terhadap CEDAW dapat memperluas perlindungan ini terhadap kelompok-kelompok yang mungkin mengalami diskriminasi karena identitas gender mereka, termasuk transpuan (wanita transgender). Dalam konteks hukum dan kebijakan di beberapa negara, prinsip-prinsip CEDAW telah diinterpretasikan untuk melindungi hak-hak transgender sebagai bagian dari upaya menghapuskan diskriminasi berbasis gender.
Melalui pengesahan ini, negara berkewajiban untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi, termasuk terhadap transpuan.Kelompok transpuan berhak mendapatkan penghormatan, jaminan keamanan, hingga pemenuhan hal-hak asasi sesuai dengan regulasi yang ada. Sebagaimana UUD 1945 pasal 28I menyampaikan, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Lebih lanjut, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9 ayat 2 mengatur, “Setiap orang mempunyai hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin”. Ketentuan tersebut menunjukan adanya jaminan hak rasa aman terhadap setiap orang tanpa terkecuali.
Menciptakan hak demokrasi yang setara khususnya bagi transpuan perlu kita perjuangkan bersama. Musyawarah tanpa penghakiman sangat diperlukan agar membentuk sikap inklusif bagi masyarakat. Harus ada pengakuan, penghargaan, dan penghormatan atas perbedaan dan keragaman yang ada. Transpuan merupakan bagian dari demokrasi yang harus mendapatkan hak yang sama untuk didengarkan dan diperjuangkan.
______________________
Nita Amriani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Nita lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini dipotret oleh Arus Pelangi/Sejuk.org