Bong, Urusan Kematian Tionghoa, dan Yang Terbengkalai
Refan Aditya – 08 April 2024
Beberapa waktu silam, warganet sempat heboh dengan temuan bongpay atau nisan makam Tionghoa yang dijadikan penutup selokan di Desa Jomblang, Semarang. Sebanyak 17 tablet batu alam beraksara mandarin itu terbaring dan berjejer rapi di ruas selokan depan rumah warga. Beredar opini bahwa bongpay–bongpay ini adalah hasil jarahan warga dari kuburan Tionghoa yang terbengkalai. Bahkan, muncul narasi bahwa hal itu disengaja dengan niat menista kelompok tertentu.
Melihat kabar tersebut semakin heboh dan tak berarah, Harjanto Halim, budayawan Tionghoa Semarang, pun memberi klarifikasi. Dalam unggahan reels di akun media sosialnya, Halim menjelaskan bahwa pada masa Hindia-Belanda daerah itu memang kompleks pemakaman orang Tionghoa. Namun, pada 1797 pemerintah Hindia-Belanda merelokasi makam tersebut ke daerah Kedungmundu. Bongpay lama pun dihancurkan oleh ahli waris dan dibuat nisan pengganti di tempat yang baru. Namun, ada lebih banyak bongpay yang ditelantarkan. Artinya, batu-batu nisan itu sudah ratusan tahun terlantar di sana selama beberapa generasi hingga akhirnya daerah tersebut menjadi pemukiman penduduk.
Bongpay terlantar tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh warga setempat untuk bahan baku bangunan. Warga tidak tahu pemilik, muasal, ataupun fungsi asli benda yang mereka manfaatkan untuk penutup selokan tersebut. Yang mereka tahu, batu-batu tersebut sudah ada sejak zaman kakek-neneknya. Dengan demikian, menurut Halim, isu bahwa bongpay itu hasil curian ialah menyesatkan, apalagi sengaja untuk menista. Justru, keluarga-keluarga yang menelantarkan bongpay tersebutlah yang patut dipertanyakan.
Kasus penelantaran bongpay ini memancing pertanyaan, masihkah pemakaman ala tradisi Tionghoa menjadi urusan penting dalam kehidupan keagamaan orang Tionghoa? Artikel ini mencoba menilik kembali peran lembaga kematian masyarakat Tionghoa dan jalan terjal dalam meneruskan tradisi keagamaan tersebut.
Lembaga Kematian Masyarakat Tionghoa: Relasi Dua Dunia
Kehidupan komunitas Tionghoa sangat lekat dengan eksistensi dewa atau roh para suci (sheming, 神 明) yang menjadi pelindung mereka. Ketika berlayar menyeberangi samudra lepas, para migran Tionghoa membawa serta rupang dewa pelindungnya ke tempat tujuan, tak terkecuali di Asia Tenggara (Chee-Beng, 2013). Salah satu yang terpopuler di kalangan migran dari pesisir selatan Tiongkok—wilayah yang menjadi mayoritas asal migran keturunan Tionghoa di Asia Tenggara—ialah rupang Makco (Tian Siang Sing Bo), dewi samudra pelindung para pelaut dan nelayan. Sebagai timbal balik atas perlindungan dewa dan roh para suci tersebut, mereka memberikan sesembahan dan pemujaan dalam berbagai bentuk ritual. Karenanya, klenteng menjadi salah satu lembaga sosial pertama yang dibentuk oleh orang-orang Tionghoa (Hoakiau) di wilayah perantauan.
Di samping lembaga persembahyangan, lembaga sosial mula-mula yang juga dibentuk ialah perkumpulan kematian atau yishan (Chee-Beng, 2020). Urusan pemulasaraan mendiang menempati posisi penting bagi masyarakat Tionghoa sebagai bentuk bakti (hauw) atau penghargaan tertinggi kepada orang tua. Tingkat bakti ini akan mempengaruhi kesejahteraan atau kemalangan anggota keluarga yang ditinggal. Karena memerlukan persiapan yang tidak sederhana untuk melangsungkan ritual kematian, keberadaan perkumpulan kematian sangat penting bagi komunitas Tionghoa di mana pun mereka berada.
Dalam tradisi Tionghoa, lokasi makam perlu mengikuti fengshui atau pengaturan geomansi tertentu, misalnya di dataran tinggi seperti perbukitan dan posisi makam menghadap ke lanskap depannya (Madeddu & Zhang, 2021). Secara praktis, masyarakat Tionghoa memilih lokasi penguburan dengan cermat agar makam tersebut terlindung dari badai, banjir, ataupun terik panas dalam jangka waktu lama. Sementara, secara keagamaan, lokasi makam yang tepat akan membuat mendiang dapat hidup dengan nyaman di alam selanjutnya sehingga menghasilkan energi baik bagi keluarga yang ditinggalkan.
Ketika berziarah, keluarga berdoa dengan mengangkat dupa di hadapan bongpay kemudian membakar uang-uangan, tak jarang replika rumah atau mobil dari kertas, untuk bekal mendiang di alam baka. Dupa tersebut lalu ditancapkan ke hiolo atau wadah abu sebagai media penghubung antara yang hidup dan yang mati. Di sisi kanan bong biasanya berdiri altar kecil untuk Toa Pe kong (土地公;) atau dikenal dengan Dewa Bumi, dewa penguasa lokal. Altar ini sebagai tempat untuk berdoa agar dewa setempat menerima jasad mendiang dan mencegah kedatangan roh-roh jahat yang mengganggu leluhur.
Dalam relasi ini, ketentraman orang yang meninggal sangat bergantung pada keluarganya—dan pada gilirannya bertimbal balik pada kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Menurut tradisi orang Tionghoa, keterputusan hubungan antara orang tua yang telah meninggal dan anak yang masih menjalani hidup adalah perilaku durhaka atau puthauw (不孝). Kedurhakaan ini akan berakibat pada kemalangan nasib satu keluarga. Maka, hubungan antara yang meninggal dan yang hidup harus selalu dijalin. Bong harus dipelihara dan dikunjungi setidaknya setiap hari raya Cheng Beng. Jika tidak memungkinkan, keluarga mendiang dapat membayar jasa warga sekitar makam untuk merawatnya.
Bong, dengan demikian bukan hanya jangkar memori kolektif sebuah komunitas atas leluhurnya dalam wujud material batu yang beku, melainkan juga denyut nadi silsilah kekeluargaan yang padanya hubungan timbal balik tetap berlangsung. Orang Tionghoa erat menghubungkan identitas diri dengan garis keturunan keluarganya. Keberlanjutan identitas seorang ditentukan oleh terpeliharanya hubungan dengan leluhur. Keterputusan seorang dari leluhur menandakan terputus pula identitas dan jati dirinya sebagai bagian dari keluarga dan komunitas. Maka, bong menjadi ruang liminal yang sakral dan vital bagi kehidupan masyarakat Tionghoa.
Bong: Terbengkalai dan Kian Tergusur
Akibat keterbatasan lahan, harga tanah bong dan biaya perawatannya kian melonjak, sementara tidak semua keluarga Tionghoa berasal dari golongan yang berlimpah harta. Tak sedikit keluarga yang akhirnya memutuskan untuk membongkar makam leluhur dan mengkremasinya agar terhindar dari puthauw. Di sisi lain, kebijakan diskriminatif masa Orde Baru memaksa banyak orang Tionghoa berpindah agama. Sementara, di agama baru yang mereka anut terdapat doktrin yang melarang untuk melaksanakan ritual ziarah makam seperti tradisi Tionghoa. Inilah yang menjadi pangkal penyebab tradisi merawat bong kian memudar sehingga banyak bong terbengkalai. Akhirnya, bong-bong tersebut berselimut semak belukar dan dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah bahkan tempat prostitusi. Ini yang membuat stigma bong menjadi negatif dan jauh dari kesan sakral.
Lembaga sosial masyarakat Tionghoa yang mulanya esensial dan primordial ini menghadapi persoalan yang dilematis. Di tengah modernisasi dan politik agama, tata upacara kematian masyarakat Tionghoa mau tak mau mesti dinegosiasikan dengan pertimbangan pragmatis. Di Singapura, karena keterbatasan lahan, pemerintah sudah tidak menyediakan lahan baru untuk pemakaman dan bahkan mengalihfungsikan lahan bong yang ada menjadi ruang publik. Tiada pilihan lain bagi orang keturunan Tionghoa di Singapura selain memperabukan keluarga yang meninggal dan menegosiasikan ritual-ritual untuknya dalam batasan-batasan kebijakan publik (Kiong, 2010).
Di Indonesia, persoalannya tak jauh beda. Perluasan lahan perkotaan dan kebutuhan pemukiman pada akhirnya banyak menggusur bong-bong yang sudah berumur tahun, seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, dan kota-kota besar lainnya. Sisa bong-bong terbengkalai banyak digunakan oleh warga untuk bahan baku bangunan atau dijual. Di sisi lain, banyak masyarakat Tionghoa yang berpindah agama “resmi” dan tidak lagi menjalankan tradisi kematian ala Tionghoa. Apalagi, tata laksana upacara kematian di agama yang baru mereka anut cenderung lebih sederhana dan tidak memakan terlalu banyak biaya.
Konsekuensi lain dari tergerusnya tradisi merawat Bong ini ialah hilangnya bukti-bukti sejarah. Selain bertuliskan nama mendiang dan keluarganya, pada bongpay juga terukir berbagai data sejarah penting seperti tahun pembuatan nisan, keterangan dinasti atau masa pemerintahan ketika mendiang wafat, sampai jabatan atau status sosial. Bentuk dan gaya aksara bongpay yang bervariasi menunjukkan periode masa ketika mendiang hidup sekaligus menjadi penanda jejak awal keberadaan komunitas Tionghoa di suatu tempat. Ini penting bukan saja bagi komunitas Tionghoa, melainkan juga berkontribusi dalam memperluas horizon sejarah betapa kosmopolitnya leluhur manusia Indonesia. Kesimpangsiuran narasi sejarah terkait masyarakat Tionghoa salah satunya bermuara dari minimnya bukti historis seperti ini. Akibatnya, masyarakat awam kerap memahami momen kedatangan perantau Tionghoa ke Indonesia secara simplistis sebagai invasi asing alih-alih sebagai momen perjumpaan dan pertukaran antarperadaban.
Maka, perlakuan serius untuk situs bong bersejarah dan sisa-sisa reruntuhannya menjadi penting. Kasus di Semarang sudah menunjukkan usaha ke arah ini. Pada 14 Maret 2024, warga bersama anggota PSMTI membongkar sisa bongpay tersebut. Rencananya, PSMTI akan membuat semacam museum sebagai media edukasi terkait tradisi pemakaman Tionghoa.
Dengan segala tantangannya, lembaga sosial kematian Tionghoa menjadi instansi yang terus bergulat dengan zaman. Kini, yayasan kematian Tionghoa menyediakan pelayanan rumah abu hingga upacara misa untuk keluarga Kristen dan Katolik yang berkabung. Bantuan juga disediakan untuk warga yang tidak mampu membayar biaya pemakaman (Santoso dan ISR, 2019). Di saat yang sama, keberadaan kompleks Bong juga menghadapi kondisi yang rentan. Praktik pungutan liar oleh oknum warga sekitar sampai ancaman penggusuran masih menghantui masyarakat keturunan Tionghoa. Urusan kematian dan kondisi di lapangan tersebut menunjukkan fakta bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia masih dan akan terus bernegosiasi dengan keadaan—tidak hanya mereka yang hidup, tetapi juga yang meninggal.
______________________
Refan Aditya adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 10 tentang Berkurangnya Kesenjangan.