Wednesday Forum is a weekly discussion on religion-related ideas and practices organized by both the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), the Graduate School of Universitas Gadjah Mada, and Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Yogyakarta. This forum is an academic space open for public, encouraged especially for our graduate students, faculty members, researches, Indonesian and overseas scholars. It is aimed for scholars to share their research on the field pertaining to religion, and twenty through thirty presenters have become speaker in the forum every year. We invite those who have researches or (ongoing) papers on the field to do presentation in the forum.
Topics
The topics discussed include, but are not limited to, interfaith dialogue; conflict resolution and peace building; religious education; art and spirituality or mysticism; religion and pop culture; religious violence and radicalism; indigenous religions; religion and ecology; religion and politics; and philosophical ideas on religion.
Attendees
The forum is attended by CRCS and ICRS graduate students and faculty members, visiting professors, activists, and students from other universities. Basically the forum is open for public.
Date and Venue
The forum is held every Wednesday, from 1 to 2.30 pm, in the Room 406 of the Graduate School Building, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta. For the coming semester, the forum will start on January 25, 2017.
Application
Application to be a presenter can be made by an email to the organizer: subandri.simbolon@mail.ugm.ac.id. Send the abstact of your research and your brief CV, primarily your study background, activity, and research. The forum committees will evaluate the applications and select the presenters.
Berita

Tasawuf adalah nafas dari ihsan, satu sifat yang mesti dimiliki seorang muslim untuk menyempurnakan iman dan islam. Dengan mempelajari dan melaksanakan ajaran tasawuf, seorang hamba diharapkan memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan di muka bumi; manusia yang mencintai seluruh entitas tanpa membedakan identitas. Setidaknya itulah yang dapat diringkas dari acara International Conference on Sufism (ICS) bertema Building Love and Peace for Indonesian Society yang diadakan pada 18 November 2016 di Fakultas Filsafat UGM, dan dihelat atas kerja sama Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Fakultas Filsafat, dan Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM. Konferensi ini juga mengungkap kembali sejarah bahwa tasawuf merupakan pendekatan utama dari para pendakwah Islam di Nusantara.
Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Pada hari keempat Sekolah Pengelolaan Keragamaan (SPK) angkatan ke-VIII tahun 2016 ini, tampak para peserta mulai dapat melihat muara dari upaya pendidikan yang dilakukan dalam SPK ini. Setelah beberapa hari bergaul dengan materi-materi yang menjadi landasan pembangunan kesadaran akan keberagaman dan penghargaan subjektifitas semua entitas dalam keberagaman, seperti teori identitas, reifikasi agama di Indonesia, dan lain sebagainya, para peserta dibawa ke ranah upaya mempraktikkan apa yang telah dipelajari.
Hal ini terwujud dalam topik “Advokasi Berbasis Riset” yang disampaikan oleh Kharisma Nugroho, seorang peneliti dan konsultan kebijakan-kebijakan publik dari KSI (Knowledge Sector Initiative) sebuah lembaga riset kerjasama Indonesia dan Australia yang bergerak dalam upaya mengangkat pengetahuan atau kearifan lokal dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah maupun nasional.
Dalam sesi ini disampaikan, semua peserta SPK perlu sampai pada titik di mana mereka terpanggil untuk melalukan sebuah upaya advokasi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai atau ideal-ideal yang diyakini kebenarannya, misalnya mengadvokasi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah adat mereka yang ingin dicaplok oleh perusahaan multinasional.
Namun fasilitator menekankan bahwa kerja advokasi bukanlah kerja otot (kerja keras) semata, sehingga basisnya bukan hanya emosi dan pemaksaan kehendak. Lebih dari itu, kerja advokasi adalah kerja otak (kerja cerdas), yang berarti bahwa orang-orang yang mengadvokasi harus tahu benar apa yang ia bela dan bagaimana cara membuat pembelaan dan perjuangannya itu berhasil.
Untuk itu, fasilitator menjelaskan ada tiga pengetahuan penting yang harus dimiliki oleh setiap peserta SPK, yakni: pertama, scientific knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang berbasis teori sebagaimana yang dapat diperoleh dalam kehidupan akademik di kampus; kedua, financial knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang didorong oleh lembaga-lembaga donor tertentu yang menghendaki adanya kajian tentang sebuah topik atau kejadian sebelum mereka memberikan bantuan, dll; dan yang ketiga, bureaucratic knowledge, yaitu pengetahuan terkait pemahaman pemerintah atas sebuah hal atau peristiwa yang ingin diadvokasi oleh satu lembaga swadaya masyarakat tertentu. Ini karena pemerintah mempunyai logikanya tersendiri terkait sebuah kebijakan yang akan diambil yang membuat mereka tidak hanya perlu fokus pada satu hal yang diadvokasi oleh satu LSM atau lembaga riset, tetapi juga melihat urgensi dan keberlangsungan pelaksanaan kebijakan yang akan dibuat nantinya.
Dalam SPK ini dijelaskan pula bahwa para advokator perlu menjaga kredibilitas, dengan menjaga kualitas riset. Fasilitator mengingatkan bahwa advokasi berbasis riset atau penelitian harus benar-benar teliti dan mencari terus hal-hal yang ada di balik fenomena, dan bukan hanya melihat kulit luarnya saja.
Fasilitator memberikan contoh, ada sebuah penelitian tentang program BPJS di tahun 2015 yang menyatakan bahwa pelaksanaan BPJS buruk, terjadi antrian panjang, masyarakat bingung dan kebutuhan perempuan kurang diperhatikan. Informasi ini jelas baik, namun tidak menjawab pertanyaan “apa yang menyebabkannya fenomena tersebut terjadi?” Secara sederhana, fasilitator kemudian membuat penelitian dengan memperhatikan data-data bidang kesehatan sepuluh tahun terakhir. Dari data yang dimiliki, fasilitator menemukan bahwa dalam sebuah penelitian dengan metode wawancara ditemukan bahwa masyarakat yang merasa sakit selama satu bulan hanya sekitar 25%, namun setelah adanya BPJS masyarakat menjadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan, sehingga permintaan layanan kesehatan naik hingga 60%.
Sebelum adanya BPJS mungkin masyarakat tidak terlalu banyak mengakses layanan kesehatan dikarenakan biaya yang mahal, namun setelah ada BPJS permintaan layanan kesehatan naik hampir 100% sementara jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak bertambah secara signifikan. Dari hasi penelitian ini penting sekali untuk menemukan akar dari sebuah persoalan, sehingga saat dilakukan upaya advokasi isu yang dibahas adalah isu yang esensial dan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan.
Hal lain yang juga sangat penting dari sebuah upaya advokasi adalah perubahan paradigma dari para pelaku advokasi. Advokasi tidak selalu soal mengubah undang-undang atau sebuah kebijakan. Lebih dari itu, bukti dari perubahan itu tidak pula selalu soal pendirian lembaga tingkat nasional sampai daerah yang dimaksudkan untuk menangani satu isu tertentu, sebab belum tentu perubahan undang-undang dan pendirian lembaga itu merupakan jaminan terjadinya perubahan. Bisa jadi ini justru adalah jebakan baru (institutional trap) yang menjadikan perubahan semakin lambat terjadi. Oleh karena itu, fasilitator mengingatkan ada beberapa aspek yang menandai terjadinya perubahan setelah upaya advokasi yaitu:
Aksi Super Damai 212 patut diapresiasi sebagai bukti kemajuan dan kedewasaan umat Islam Indonesia dalam mengekspresikan aspirasi politiknya. Kesejukan yang hadir dalam aksi ini sudah seharusnya diapresiasi.
Namun demikian, bagi peserta aksi, tujuan mereka bukan sekadar membuktikan bahwa Aksi Bela Islam adalah gerakan damai. Ratusan ribu atau bahkan lebih dari sejuta orang bersusah payah mendatangi Jakarta dalam aksi 212. Sebagian bahkan rela jalan kaki berhari-hari demi “membela Islam”, dengan tuntutan memenjarakan Ahok. Menariknya, meskipun Ahok tidak ditahan, para peserta aksi 212 tampak pulang dengan perasaan menang.
Sampai esai ini ditulis, perayaan kemenangan masih berlanjut. Linimasa masih dibanjiri konten dan unggahan yang menunjukkan kedahsyatan momen setengah hari di bawah Monas itu. Sebagian bahkan menawarkan cenderamata dan kaos untuk mengenang momen kemenangan.
Lantas pertanyaannya: apa yang sebenarnya telah dimenangkan?
Perang Posisi, Bukan Perang Manuver
Bagi banyak orang, partisipasi dalam aksi 212 bisa menjadi bagian dari momen langka yang tidak terlupakan. Berada di tengah lautan manusia untuk “membela Islam” merupakan kepuasan spiritual. Aksi yang begitu besar, yang dilakukan dengan tertib dan tanpa menyisakan sampah, adalah sebuah kemenangan dalam melawan wacana atau tuduhan tentang ancaman kekerasan dan makar.
Subandri Simbolon |CRCS UGM|
Semangat hidup bersama di tengah keragaman budaya, etnis, bahasa atau agama di Indonesia dalam banyak hal masih sangat kuat. Indonesia berhasil menyelesaikan konflik-konflik berskala besar seperti yang terjadi di Maluku atau Aceh. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada masalah-masalah yang telah berlarut-larut dalam hubungan antarkelompok yang terkesan dibiarkan dan tidak diselesaikan dengan baik. Masalah-masalah yang awalnya mungkin tampak tidak terlalu serius, setidaknya dibandingkan konflik-konflik komunal masa lalu, dapat menjadi bom waktu yang merusak tatanan bangsa seperti yang dikhawatirkan sedang terjadi akhir-akhir ini.
“Laporan ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, Pilkada turut berperan dalam terciptanya struktur kesempatan politik yang memungkinkan mobilisasi dan peran kekuatan-kekuatan sosial yang mengusung ideologi intoleran.”
Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia ini mengkaji peran pilkada sebagai struktur kesempatan politik bagi menguatnya konflik atau kekerasan keagamaan. Tanpa bermaksud mendelegitimasi Pilkada langsung, Laporan ini mengulas tiga kasus kekerasan terkait hubungan antar dan intra-agama. Ketiga kasus ini dihadirkan untuk memberi ilustrasi pentingnya mengantisipasi efek samping dari Pilkada terhadap situasi keragaman agama di Indonesia.
Ketiga Kasus tersebut adalah kekerasan terhadap Masjid Ahmadiyah dan beberapa gereja di Bekasi (Jawa Barat), kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang (Jawa Timur), dan sengketa pembangunan Masjid Nur Musafir di Kelurahan Batuplat, Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur). Ketiga kasus ini dipilih untuk memberikan ilustrasi tentang pentingnya memperhatikan Pilkada sebagai masa kritis yang bisa menentukan pola hubungan antar-agama.
Dengan demikian, bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai peta permasalahan terkait kehidupan beragama, beberapa karakternya, dan peluang-peluang atau cara-cara konstruktif untuk menanggapinya. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa sesungguhnya selama 15 tahun terakhir ini, ada beberapa jenis isu utama yang muncul secara konsisten. Misalnya, sementara kekerasan komunal berskala besar cenderung menurun secara tajam, namun kekerasankekerasan sporadis yang terkait dengan “penodaan agama” atau isu pembangunan rumah ibadah tampak makin intens; isu lain yang kerap muncul sebagai akibat demokratisasi adalah menguatnya wacana pro-kontra terkait pembuatan kebijakankebijakan publik, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Laporan ini bisa diunduh: http://wp.me/P5Fa8A-4P