News
S. Sudjatna | Report | CRCS
Salah satu tokoh ulama Indonesia, K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengingatkan civitas akademika Universitas Gadjah Mada soal tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia justru menekankan pada wajibnya menuntut ilmu. Menurut Gus Mus, seharusnya setiap orang memahami bahwa hukum ilmu hanyalah satu, yakni wajib, baik wajib kifayah (wajib dipelajari oleh sebagian orang saja) ataupun wajib ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap orang). Dengan adanya kesadaran ini, maka setiap orang akan bersungguh-sungguh dalam proses belajar yang dilakukannya sebab menyadari beban tugasnya dalam mencari ilmu. Hal ini ia sampaikan dalam kuliah perdana yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM, bertajuk “Ilmu yang Bermanfaat”, Kamis, 3 September 2015.
Selanjutnya ia menekankan pentingnya niat di dalam proses menuntut ilmu. Ia menjelaskan bahwa niat adalah pondasi dalam segala tindakan. Niat tidak hanya menentukan awal dan proses suatu perbuatan saat dilakukan, melainkan juga sangat menentukan bentuk akhir dari sesuatu itu. Karenanya, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menurut Gus Mus, seorang mahasiswa haruslah memiliki niat yang baik, tulus dan ikhlas. Bukan niat yang hanya mengedepankan persoalan duniawi semata, semisal pekerjaan, kedudukan atau keuntungan dalam bentuk materi. Niat haruslah dijalin dan didasarkan pada kesadaran akan ketuhanan serta tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Dengan begitu, setiap penuntut ilmu akan sadar dengan tugasnya sebagai orang yang diberi pemahaman atau ilmu oleh Tuhan untuk digunakan demi kebaikan manusia dan alam.
Mengaitkannya dengan ilmu kehutanan, menurut Gus Mus Indonesia adalah salah satu negara dengan bentang hutan terluas di dunia. Karenanya, tak heran jika negeri ini didaulat sebagai salah satu paru-paru dunia. Namun sayangnya, akhir-akhir ini luas hutan di nusantara kian menyempit disebabkan eksploitasi besar-besaran yang terjadi secara kontinu, belum lagi kerusakan hutan yang kian parah di setiap tahunnya. Hal ini seolah menunjukkan ada yang salah dengan tata kelola hutan yang ada. Tentu saja, kondisi ini sangat paradoks dengan realitas yang ada bahwa setiap tahunnya sarjana alumni fakultas kehutanan terus meningkat jumlahnya, dan UGM adalah salah satu penyumbang sarjana kehutanan terbanyak saat ini. Apa yang salah dalam hal ini? Adakah ilmu yang sudah digali selama para mahasiswa kehutanan itu kuliah tidak bermanfaat?.
Selain itu, Gus Mus juga memberi perumpamaan bahwa pelajar—di dalamnya termasuk juga mahasiswa—bukanlah laiknya sebuah komputer. Pelajar berbeda dengan komputer yang hanya menampung data tanpa mampu melakukan apa pun. Karenanya, pelajar jangan seperti komputer. Pelajar haruslah sanggup menampung ilmu sekaligus mengamalkannya, memanfaatkannya. Menurut Gus Mus, jika sekiranya tidak sanggup memberi manfaat, maka setidaknya hendaklah tidak merugikan orang lain. Selain itu, sebagai manusia, pelajar hendaklah menggunakan bukan hanya otak, melainkan juga hati.
Salah satu tips menuntut ilmu yang dilontarkan Gus Mus bagi para mahasiswa adalah hendaknya berteman dengan orang shaleh. Sebab, pengaruh teman sangatlah kuat terhadap jiwa seseorang. Jika seorang mahasiswa salah berteman atau salah pergaulan, maka dapat dipastikan study-nya akan terganggu, begitu juga dengan keilmuannya. Sedangkan bagi para dosen, Gus Mus mengingatkan pentingnya mendoakan para mahasiswa agar mendapat ilmu yang bermanfaat. Ia mengingatkan, hendaklah para dosen menyadari bahwa mereka hanyalah sarana Tuhan dalam menyampaikan ilmu.
Rachmanto
Alumnus CRCS
Sejak pekan kemarin, rombongan haji dari Yogyakarta sudah mulai berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ritual suci tahunan ini. Suatu ibadah yang membutuhkan beragam pengorbanan baik harta maupun jiwa. Tidak heran ibadah haji menjadi simbol kesempurnaan seorang Muslim. Akan tetapi ibadah haji ternyata tidak hanya berpengaruh bagi ketaqwaan pribadi seorang Muslim. Ibadah haji bahkan bisa meningkatkan ketaqwaan kolektif dalam konteks kebangsaan. Ritual haji mampu menanamkan sekaligus menumbuhkan benih-benih kebangsaan dalam diri pelakunya.
Abstract
The attempt to expand the discourse of science and religion by considering the pluralistic landscape of today’s world requires not only adding new voices from more religious traditions but a rethinking of the basic categories of the discourse, that is, “science,” “religion,” and the notion that the main issue to be investigated is the relationship between the two. Making use of historical studies of science and religion discourse and a case study from Indonesia, this article suggests a rethinking of the categories, including giving more attention to indigenous religions. The presentation will be based on a paper published in Zygon: Journal of Religion and Science [Zygon, vol. 50, no. 2 (June 2015)].
Speaker:
Dr. Zainal Abidin Bagir, is the Director of the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Graduate School of Gadjah Mada University (GMU), Yogyakarta, Indonesia. He is also a member of the Board of Trustee of Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS-Yogya), representing GMU. In 2009 he was appointed as Indonesian Associate for UNESCO Chair in Interreligious and Intercultural Relations—Asia Pacific. Recently he led a research (2008-2009) on four decades of discourse and practice of inter-religious dialogue in Indonesia. At CRCS he teaches Academic Study of Religion, Philosophy of Religion, and Religion, Science and Technology. At the Philosophy Department of GMU he teaches philosophy of science and of technology. He conducts research and writes on subjects related to religion and contemporary issues, with special attention to religion and science and to the Muslim world, and issues on the relation between religious communities.
Author: Ali Ja’far/CRCS
Editor: Gregory Vanderbilt
“Where religious freedom is heading to” is the big question nowadays. It is sensitive issue in pluralistic societies where blasphemy law and religious conflict are still dominant. Speaking in the Wednesday Forum of CRCS/ICRS, Dr Paul Marshal of the Hudson Institute in Washington, D.C., and the Leimena Institute in Jakarta argued that emphasizing religious freedom does not correlate with religious conflict, but the prevalence of religious restriction does. In his research summary, combining data from more than 180 countries, he showed that there are two factors related to religious conflict: religious restriction and social hostilities.
Authors
Suhadi, Mohamad Yusuf, Marthen Tahun, Budi Asyhari, Sudarto
Publisher
CRCS-UGM, 2015
Paperback
92 pages
Price
Rp. 45.000
This Report on Religious Life in Indonesia examines three issues. First, its analysis of the politics of religious education includes a look at the history and ideology of religious education, religious identity as a student index, and religious education for members of “belief groups” not recognized by the state as official religions. Second, it examines the 2013 Curriculum and the place of religious education in it. The monograph also investigates the new requirements of “spiritual competence” as a new “burden” for all school subjects in the 2013 Curriculum. Third, it discusses religion in the public space of the school. Since the Reform Era, the existence of spiritual organizations is very significant in shaping religious identity in the public space of school.
Download the PDF file of the book below :
THE POLITICS OF RELIGIOUS EDUCATION