Genta Rohani dalam Resistensi
Refan Aditya – 08 Februari 2024
Ratusan umat Konghucu dari berbagai kota di Jawa Timur memenuhi aula Klenteng En An Kiong Malang. Minggu pagi, 10 Desember 2023, mereka bersiap untuk melaksanakan kebaktian bersama umat Konghucu se-Jawa Timur. Ini adalah kali pertama kebaktian akbar Konghucu se-provinsi digelar lagi semenjak pandemi Covid-19 memblokade segala bentuk perjumpaan fisik acara keagamaan. Kebaktian akbar ini menjadikan Jawa Timur sebagai basis terbesar agama Konghucu di Indonesia.
Kami mengikuti seluruh rangkaian prosesi kebaktian ini dan menyaksikan suatu yang mengharukan. Meskipun rekam demografi menunjukkan makin jatuhnya angka persentase umat Konghucu di Indonesia dari tahun ke tahun, nyatanya agama ini tetap berkarsa menggemakan gentanya. Kebaktian Konghucu se-Jatim seperti menunjukkan masih adanya harapan terang akan masa depan agama Konghucu di negeri ini.
Konghucu di Orde Baru
Konghucu sebenarnya merupakan salah satu agama yang diakui oleh pemerintahan Sukarno seperti yang termaktub dalam UU No.1/PNPS/1965 bagian penjelasan Pasal 1. Namun, setelah konflik politik G/30S 1965 segala hal terkait Tionghoa—dari organisasi, media, sekolah, dan budaya—ditekan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Partai Komunis Tiongkok (PRC) dituduh menyokong kudeta politik tersebut. Tak bisa dimungkiri, ada orang-orang keturunan Tionghoa yang terafiliasi dengan partai komunis, tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan orang Jawa. Akibatnya, budaya dan apa pun terkait Tionghoa diasosiasikan secara politis dengan komunisme—dan otomatis dilarang, tak terkecuali agama dan ekspresi kebudayaan yang bernuansa Tionghoa. Presiden Soeharto sebenarnya sempat merangkul agama Konghucu. Namun, itu sekadar strategi untuk meraup suara Partai Golkar pada pemilu tahun 1971 (Sutrisno, 2018). Tahun 1979, MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) tidak lagi diperbolehkan menggelar kongres.
Eksklusi Konghucu dari status “agama yang diakui negara” membuat hak-hak kewarganegaraan, keagamaan, dan kebudayaan penganutnya terenggut. Dalam periode ketegangan terhadap komunisme yang menjadi-jadi, pemerintah Orde Baru mempropagandakan agama sebagai identitas yang harus dimiliki. Komunisme dianggap satu tarikan nafas dengan ateisme, sehingga tidak memiliki agama sama dengan komunis yang bertentangan dengan sila ke-1 Pancasila. Sejak itu, umat Konghucu yang mayoritas merupakan warga keturunan Tionghoa terpaksa berbondong-bondong pindah agama untuk menghindari label komunis dan melengkapi kepentingan administrasi kewarganegaraan. Sebagian besar memilih Buddha dan Kristen (Suryadinata, 2002). Di sisi lain, ada desakan politik asimilasi Orde Baru yang menekan Konghucu agar menyatukan diri dalam Tridharma (aliran keagamaan yang berisi tiga ajaran, Konghucu, Buddha dan Tao, dengan Buddha sebagai unsur sentral) demi mengikis unsur ketionghoaan.
Sebenarnya para tokoh Konghucu pun sudah sejak semula hendak meng-Indonesia-kan agama ini. Figur seperti Oie Lee Tjie (1934—2008) dan Tjhie Tjay Ing (1935—2016) adalah pemikir kunci agama Konghucu, keduanya peranakan Tionghoa kelahiran Jawa Tengah, yang meramu doktrin agama Konghucu agar berasas pada Pancasila dan nilai-nilai Indonesia. Di antaranya dengan memformulasikan konsep metafisik seperti konsep ketuhanan (Tian, 天); kenabian Kong Hu Cu (孔子); pengakuan iman, akhirat, dosa dan neraka; serta menyusun format ibadah kebaktian mirip gereja.
Kendati selepas Orde Baru tumbang agama Konghucu kembali diakui negara, jumlah umatnya malah merosot. Pengakuan kembali status tidak lantas membuat “mantan” umatnya berbalik. Beberapa umat sudah merasa nyaman dengan “rumah” yang baru, beberapa yang lain masih trauma dengan diskriminasi. Juga penting dicatat, religiusitas orang Tionghoa cukup kompleks. Untuk memelihara tradisi agama leluhurnya, misalnya, orang keturunan Tionghoa di Indonesia biasanya pergi ke klenteng dan melakukan ritual Tridharma—yang tidak dianggap sebagai agama oleh negara. Karenanya, meski sebagian besar mereka sudah beragama Katolik, Kristen dan Buddha Theravada, praktik sembahyang dewa-dewi di klenteng tetap mereka lestarikan.
Menurut Leo Suryadinata, pada era Reformasi, agama Konghucu justru mulai kehilangan fungsinya sebagai perawat identitas ketionghoaan. Pada era sebelumnya, menjadi Konghucu adalah cara warga keturunan Tionghoa untuk merawat identitas ketionghoaannya. Di masa Orde Baru, orang Tionghoa yang masuk Kristen langsung dicap hilang ketionghoaannya (Hoon, 2013). Kini, mereka lebih memilih melestarikan identitas dan tradisi religiusnya di klenteng tanpa mempersoalkan iman agama. Ini bukti bahwa kebijakan anti-Tionghoa dari Orde Baru memberikan dampak mendalam bagi keberlanjutan agama Konghucu.
Mengenali Diri, Menata Eksistensi
“Ajaran agama Konghucu dengan jelas mengatakan, hubungan dengan manusia itu lebih penting, lebih penting dari pada hubungan dengan Tuhan. Bukan saya ingin menomorduakan Tuhan. Kita bisa mengenal Tuhan itu karena kita mengenal manusia terlebih dahulu. Maka harmonis dengan manusia itu akan mendatangkan berkah di kehidupan dunia dan menghubungkan kita dengan Tuhan.”
Statemen Wen Se Budi Suniarto (Ws. Budi), rohaniawan Konghucu asal Purwokerto, saat chang tao (khutbah) kebaktian bersama tersebut menyita perhatian saya. Jika pada masa Orde Baru para rohaniwan Konghucu berupaya keras untuk memacakkan diri dengan agama abrahamik agar direkognisi negara, melalui statement itu agama Konghucu mulai tegas menyatakan karakteristik keagamaannya. Dalam kitab Lun Yu, sang nabi Kong Hu Cu (孔子) menyebutkan, “Sementara kau tak mengerti kehidupan, bagaimana bisa kamu mengerti kematian.” Dengan kata lain, yang menjadi orientasi keagamaan ialah hubungan harmonis antarmanusia dan hidup sebijak-bijaknya. Kehidupan setelah mati itu urutan ke sekian.
Lebih lanjut, mengutip kitab I-Ching, Ws. Budi menerangkan bahwa semua ciptaan tuhan itu selalu berdasarkan pada dialektika Yin dan Yang. Prinsip Ying dan Yang pada dasarnya menjelaskan sebuah hukum biner yang menjiwai kehidupan dan semesta. Ada kuat-lemah, siang-malam, gelap-terang, pria-wanita, bahagia-sedih, dan seterusnya. Namun, Ying dan Yang hakikatnya tidak berada dalam oposisi atau pertentangan. Jusru, keduanya adalah muasal kehidupan dan ketertiban (harmoni). “Semua, dalam kehidupan manusia bisa dipahami dengan bingkai konsep Yin dan Yang,” jelas Ws. Budi.
Konsep inilah yang menjadi landasan agama Konghucu di Indonesia untuk mengayuh keragaman dan harmoni. Perbedaan, seperti Yin dan Yang, tidak lantas berarti anomali dan kekacauan. Justru perbedaan merupakan prakondisi harmoni. Dengan kata lain, harmoni justru mensyaratkan perbedaan dan keragaman.
“Berbeda itu saling melengkapi, bukan saling berlawanan,” ujar Ws. Budi. Ia berpendapat, adalah kekeliruan memadankan istilah oposisi biner dengan “lawan kata”. Perbedaan itu, dari perspektif agama Konghucu, bukan dalam rangka berlawanan melainkan menggenapi. Kita mengenal terang kalau ada gelap, mengerti baik karena ada buruk, mengenal laki-laki karena ada perempuan, dan sebaliknya. Artinya, perbedaan itu relasional, saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika yang satu berubah, yang lain ikut menyesuaikan untuk menuju sebuah harmoni. Karenanya, upaya penyeragaman—seperti yang terjadi saat Orde Baru—sama halnya dengan melawan kodrat alam yang sudah ditetapkan Tuhan.
Berbeda untuk Hidup Bersama
Selepas Reformasi, para rohaniawan Konghucu menata diri kembali dan berupaya lepas dari jerat penyeragaman agama. Namun, tak jarang ada umat yang mempertanyakan upaya tersebut. “Ada orang yang mengatakan,” cerita Ws. Budi, “Saya ke Tiongkok dan tidak ada agama Konghucu.” Untuk menjawab hal itu, Ws. Budi menjelaskannya melalui sebuah cerita dan analogi.
Ketika pertama kali berkunjung ke Malang, ia ingin sarapan bakso Malang. Akan tetapi, ketika bertanya kepada Koh Sun, penjemputnya di stasiun, yang ditanya malah bingung karena tidak pernah mengenal bakso Malang apalagi tahu tempatnya. Akhirnya setelah Ws. Budi menjelaskan rupa bakso Malang yang ia maksud, mereka pergi ke warung bakso terdekat. Kemudian, Ws. Budi pun berkata, “Ya ini bakso Malang! Tapi saya lihat kok tidak ada tulisannya ‘Bakso Malang’ di sini?” Koh Sun pun angkat bicara, “Wense, semua bakso di Malang ya seperti ini.” Jamaah pun tertawa. “Oh, jadi bakso Malang itu dituliskan kata ‘Malang’ hanya kalau ada di luar kota Malang. Orang perlu pembeda bahwa inilah bakso Malang, [yang] beda dengan bakso Solo,” jelas Ws. Budi kepada para jamaah yang merasa terhibur dengan ceritanya.
Cerita itu adalah analogi untuk menjelaskan perbedaan eksistensi Konghucu di Tiongkok dan Indonesia. Di Tiongkok memang tidak ada agama Konghucu, karena ajaran Konghucu telah merasuk ke pola pikir, semboyan pemerintah, bahkan sampai etika pemerintahan. Sementara di Indonesia, agama Konghucu perlu untuk menunjukkan dirinya secara harfiah. “… [Di Tiongkok] mereka tidak lagi perlu mem-branding itu sebagai agama, seperti hanya bakso di Malang tidak perlu mem-branding kata ‘Malang’ di setiap warung bakso mereka,” jelasnya kepada jamaah.
Berbeda tak berarti asing. Gagasan keragaman dan harmoni dalam bingkai Yin dan Yang menjadi ruh Konghucu untuk teguh pada prinsipnya sebagai agama yang berbeda tetapi tetap berkomitmen pada persatuan dan kesatuan. Harmoni adalah tentang cara kita menghadapi perbedaan. Rekam jejak sepak terjang agama Konghucu menggapai rekognisi membuktikan komitmen agama ini pada harmoni dan kerukunan hidup berwarga negara.
Luka sejarah tak lantas menyurutkan umat Konghucu untuk mengekspresikan religiusitasnya di ruang publik. Meski mengalami kemerosotan jumlah persentase umat, perjalanan agama Konghucu pasca-Orde Baru tidak sesuram proyeksi data itu. Angin segar reformasi memang tidak bisa mengembalikan umat yang sudah pergi. Namun, lantunan “sinar pancaran” tetap menggema di lithang dan klenteng-klenteng kota Jawa Timur. Figur-figur rohaniwan Konghucu senantiasa mewartakan genta konfusiani. Tak ketinggalan, peran PAKIN (Pemuda Agama Konghucu Indonesia) juga memberi harapan regenerasi dan keberlanjutan agama Konghucu. Mengikuti kebaktian seprovinsi ini, saya melihat ada secercah harapan bagi masa depan Konghucu di Indonesia. Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.
______________________
Refan Aditya adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari XiaoKong Booklet (2023).