• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Genta Rohani dalam Resistensi

Genta Rohani dalam Resistensi

  • Perspective
  • 8 February 2024, 10.20
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Genta Rohani dalam Resistensi

Refan Aditya – 08 Februari 2024

Ratusan umat Konghucu dari berbagai kota di Jawa Timur memenuhi aula Klenteng En An Kiong Malang. Minggu pagi, 10 Desember 2023, mereka bersiap untuk melaksanakan kebaktian bersama umat Konghucu se-Jawa Timur. Ini adalah kali pertama kebaktian akbar Konghucu se-provinsi digelar lagi semenjak pandemi Covid-19 memblokade segala bentuk perjumpaan fisik acara keagamaan. Kebaktian akbar ini menjadikan Jawa Timur sebagai basis terbesar agama Konghucu di Indonesia.

Kami mengikuti seluruh rangkaian prosesi kebaktian ini dan menyaksikan suatu yang mengharukan. Meskipun rekam demografi menunjukkan makin jatuhnya angka persentase umat Konghucu di Indonesia dari tahun ke tahun, nyatanya agama ini tetap berkarsa menggemakan gentanya. Kebaktian Konghucu se-Jatim seperti menunjukkan masih adanya harapan terang akan masa depan agama Konghucu di negeri ini.

Konghucu di Orde Baru

Konghucu sebenarnya merupakan salah satu agama yang diakui oleh pemerintahan Sukarno seperti yang termaktub dalam UU No.1/PNPS/1965 bagian penjelasan Pasal 1. Namun, setelah konflik politik G/30S 1965 segala hal terkait Tionghoa—dari organisasi, media, sekolah, dan budaya—ditekan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Partai Komunis Tiongkok (PRC) dituduh menyokong kudeta politik tersebut. Tak bisa dimungkiri, ada orang-orang keturunan Tionghoa yang terafiliasi dengan partai komunis, tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan orang Jawa. Akibatnya, budaya dan apa pun terkait Tionghoa diasosiasikan secara politis dengan komunisme—dan otomatis dilarang, tak terkecuali agama dan ekspresi kebudayaan yang bernuansa Tionghoa. Presiden Soeharto sebenarnya sempat merangkul agama Konghucu. Namun, itu sekadar strategi  untuk meraup suara Partai Golkar pada pemilu tahun 1971 (Sutrisno, 2018). Tahun 1979, MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) tidak lagi diperbolehkan menggelar kongres.

Eksklusi Konghucu dari status “agama yang diakui negara” membuat hak-hak kewarganegaraan, keagamaan, dan kebudayaan penganutnya terenggut. Dalam periode ketegangan terhadap komunisme yang menjadi-jadi, pemerintah Orde Baru mempropagandakan agama sebagai identitas yang harus dimiliki. Komunisme dianggap satu tarikan nafas dengan ateisme, sehingga tidak memiliki agama sama dengan komunis yang bertentangan dengan sila ke-1 Pancasila. Sejak itu, umat Konghucu yang mayoritas merupakan warga keturunan Tionghoa terpaksa berbondong-bondong pindah agama untuk menghindari label komunis dan melengkapi kepentingan administrasi kewarganegaraan. Sebagian besar memilih Buddha dan Kristen (Suryadinata, 2002). Di sisi lain, ada desakan politik asimilasi Orde Baru yang menekan Konghucu agar menyatukan diri dalam Tridharma (aliran keagamaan yang berisi tiga ajaran, Konghucu, Buddha dan Tao, dengan Buddha sebagai unsur sentral) demi mengikis unsur ketionghoaan.

Sebenarnya para tokoh Konghucu pun sudah sejak semula hendak meng-Indonesia-kan agama ini. Figur seperti Oie Lee Tjie (1934—2008) dan Tjhie Tjay Ing (1935—2016) adalah pemikir kunci agama Konghucu, keduanya peranakan Tionghoa kelahiran Jawa Tengah, yang meramu doktrin agama Konghucu agar berasas pada Pancasila dan nilai-nilai Indonesia. Di antaranya dengan memformulasikan konsep metafisik seperti konsep ketuhanan (Tian, 天); kenabian Kong Hu Cu (孔子); pengakuan iman, akhirat, dosa dan neraka; serta menyusun format ibadah kebaktian mirip gereja.

Kendati selepas Orde Baru tumbang agama Konghucu kembali diakui negara, jumlah umatnya malah merosot. Pengakuan kembali status tidak lantas membuat “mantan” umatnya berbalik. Beberapa umat sudah merasa nyaman dengan “rumah” yang baru, beberapa yang lain masih trauma dengan diskriminasi.  Juga penting dicatat, religiusitas orang Tionghoa cukup kompleks. Untuk memelihara tradisi agama leluhurnya, misalnya, orang keturunan Tionghoa di Indonesia biasanya pergi ke klenteng dan melakukan ritual Tridharma—yang tidak dianggap sebagai agama oleh negara. Karenanya, meski sebagian besar mereka sudah beragama Katolik, Kristen dan Buddha Theravada, praktik sembahyang dewa-dewi di klenteng tetap mereka lestarikan.

Menurut Leo Suryadinata, pada era Reformasi, agama Konghucu justru mulai kehilangan fungsinya sebagai perawat identitas ketionghoaan. Pada era sebelumnya, menjadi Konghucu adalah cara warga keturunan Tionghoa untuk merawat identitas ketionghoaannya. Di masa Orde Baru, orang Tionghoa yang masuk Kristen langsung dicap hilang ketionghoaannya (Hoon, 2013). Kini, mereka lebih memilih melestarikan identitas dan tradisi religiusnya di klenteng tanpa mempersoalkan iman agama. Ini bukti bahwa kebijakan anti-Tionghoa dari Orde Baru memberikan dampak mendalam bagi keberlanjutan agama Konghucu. 

Mengenali Diri, Menata Eksistensi

“Ajaran agama Konghucu dengan jelas mengatakan, hubungan dengan manusia itu lebih penting, lebih penting dari pada hubungan dengan Tuhan. Bukan saya ingin menomorduakan Tuhan. Kita bisa mengenal Tuhan itu karena kita mengenal manusia terlebih dahulu. Maka harmonis dengan manusia itu akan mendatangkan berkah di kehidupan dunia dan menghubungkan kita dengan Tuhan.”

Statemen Wen Se Budi Suniarto (Ws. Budi), rohaniawan Konghucu asal Purwokerto, saat chang tao (khutbah) kebaktian bersama tersebut menyita perhatian saya. Jika pada masa Orde Baru para rohaniwan Konghucu berupaya keras untuk memacakkan diri dengan agama abrahamik agar direkognisi negara, melalui statement itu agama Konghucu mulai tegas menyatakan karakteristik keagamaannya. Dalam kitab Lun Yu, sang nabi Kong Hu Cu (孔子) menyebutkan, “Sementara kau tak mengerti kehidupan, bagaimana bisa kamu mengerti kematian.”  Dengan kata lain, yang menjadi orientasi keagamaan ialah hubungan harmonis antarmanusia dan hidup sebijak-bijaknya. Kehidupan setelah mati itu urutan ke sekian. 

Lebih lanjut, mengutip kitab I-Ching, Ws. Budi menerangkan bahwa semua ciptaan tuhan itu selalu berdasarkan pada dialektika Yin dan Yang. Prinsip Ying dan Yang pada dasarnya menjelaskan sebuah hukum biner yang menjiwai kehidupan dan semesta. Ada kuat-lemah, siang-malam, gelap-terang, pria-wanita, bahagia-sedih, dan seterusnya. Namun, Ying dan Yang hakikatnya tidak berada dalam oposisi atau pertentangan. Jusru, keduanya adalah muasal kehidupan dan ketertiban (harmoni). “Semua, dalam kehidupan manusia bisa dipahami dengan bingkai konsep Yin dan Yang,” jelas Ws. Budi. 

Konsep inilah yang menjadi landasan agama Konghucu di Indonesia untuk mengayuh keragaman dan harmoni. Perbedaan, seperti Yin dan Yang, tidak lantas berarti anomali dan kekacauan. Justru perbedaan merupakan prakondisi harmoni. Dengan kata lain, harmoni justru mensyaratkan perbedaan dan keragaman.

“Berbeda itu saling melengkapi, bukan saling berlawanan,” ujar Ws. Budi. Ia berpendapat, adalah kekeliruan memadankan istilah oposisi biner dengan “lawan kata”. Perbedaan itu, dari perspektif agama Konghucu, bukan dalam rangka berlawanan melainkan menggenapi. Kita mengenal terang kalau ada gelap, mengerti baik karena ada buruk, mengenal laki-laki karena ada perempuan, dan sebaliknya. Artinya, perbedaan itu relasional, saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika yang satu berubah, yang lain ikut menyesuaikan untuk menuju sebuah harmoni. Karenanya, upaya penyeragaman—seperti yang terjadi saat Orde Baru—sama halnya dengan melawan kodrat alam yang sudah ditetapkan Tuhan.

Berbeda untuk Hidup Bersama

Selepas Reformasi, para rohaniawan Konghucu menata diri kembali dan berupaya lepas dari jerat penyeragaman agama. Namun, tak jarang ada umat yang mempertanyakan upaya tersebut. “Ada orang yang mengatakan,” cerita Ws. Budi,  “Saya ke Tiongkok dan tidak ada agama Konghucu.” Untuk menjawab hal itu, Ws. Budi menjelaskannya melalui sebuah cerita dan analogi. 

Ketika pertama kali berkunjung ke Malang, ia ingin sarapan bakso Malang. Akan tetapi, ketika bertanya kepada Koh Sun, penjemputnya di stasiun, yang ditanya malah bingung karena tidak pernah mengenal bakso Malang apalagi tahu tempatnya. Akhirnya setelah Ws. Budi menjelaskan rupa bakso Malang yang ia maksud, mereka pergi ke warung bakso terdekat. Kemudian, Ws. Budi pun berkata, “Ya ini bakso Malang! Tapi saya lihat kok tidak ada tulisannya ‘Bakso Malang’ di sini?” Koh Sun  pun angkat bicara, “Wense, semua bakso di Malang ya seperti ini.” Jamaah pun tertawa. “Oh, jadi bakso Malang itu dituliskan kata ‘Malang’ hanya kalau ada di luar kota Malang. Orang perlu pembeda bahwa inilah bakso Malang, [yang] beda dengan bakso Solo,” jelas Ws. Budi kepada para jamaah yang merasa terhibur dengan ceritanya. 

Cerita itu adalah analogi untuk menjelaskan perbedaan eksistensi Konghucu di Tiongkok dan Indonesia. Di Tiongkok memang tidak ada agama Konghucu, karena ajaran Konghucu telah merasuk ke pola pikir, semboyan pemerintah, bahkan sampai etika pemerintahan. Sementara di Indonesia, agama Konghucu perlu untuk menunjukkan dirinya secara harfiah. “… [Di Tiongkok] mereka tidak lagi perlu mem-branding itu sebagai agama, seperti hanya bakso di Malang tidak perlu mem-branding kata ‘Malang’ di setiap warung bakso mereka,” jelasnya kepada jamaah. 

Berbeda tak berarti asing. Gagasan keragaman dan harmoni dalam bingkai Yin dan Yang menjadi ruh Konghucu untuk teguh pada prinsipnya sebagai agama yang berbeda tetapi tetap berkomitmen pada persatuan dan kesatuan. Harmoni adalah tentang cara kita menghadapi perbedaan. Rekam jejak sepak terjang agama Konghucu menggapai rekognisi membuktikan komitmen agama ini pada harmoni dan kerukunan hidup berwarga negara. 

Luka sejarah tak lantas menyurutkan umat Konghucu untuk mengekspresikan religiusitasnya di ruang publik. Meski mengalami kemerosotan jumlah persentase umat, perjalanan agama Konghucu pasca-Orde Baru tidak sesuram proyeksi data itu. Angin segar reformasi memang tidak bisa mengembalikan umat yang sudah pergi. Namun, lantunan “sinar pancaran” tetap menggema di lithang dan klenteng-klenteng kota Jawa Timur. Figur-figur rohaniwan Konghucu senantiasa mewartakan genta konfusiani. Tak ketinggalan, peran PAKIN (Pemuda Agama Konghucu Indonesia) juga memberi harapan regenerasi dan keberlanjutan agama Konghucu. Mengikuti kebaktian seprovinsi ini, saya melihat ada secercah harapan bagi masa depan Konghucu di Indonesia. Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. 

______________________

Refan Aditya adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini bersumber dari XiaoKong Booklet (2023).

Tags: Konghucu refan aditya Tionghoa

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju