• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Ketika Agama Turun ke Jalan

Ketika Agama Turun ke Jalan

  • Berita, Berita, News, News
  • 25 September 2025, 17.22
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

“Yang wafat tak mengguncang karena yang hidup tak cukup menggugat.”

Tulisan itu terpampang pada sebuah papan hitam di tengah-tengah pelataran Masjid Kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di atas tulisan tersebut, tertoreh sepuluh nama warga yang menjadi korban represi aparat pada aksi demonstrasi akhir Agustus silam. “Nisan papan tulis” tersebut merupakan salah satu medium ekspresi dalam aksi doa lintas agama dan panggung budaya pada Senin, 8 September 2025. Pada kegiatan yang diinisiasi oleh GusDurian Jogja dan Forum Cik Di Tiro  ini, puluhan orang dari berbagai latar belakang keagamaan dan sosial berdoa bersama sebagai aksi kolektif untuk menyikapi gejolak politik yang memakan korban rakyat sipil. Di samping berdoa bersama, aksi kolektif lintas sektor ini juga menyuarakan aspirasi dan pernyataan sikap kepada pemerintah. 

Melangitkan Doa, Membumikan Aksi

Bagi masyarakat, doa menjadi sarana untuk mengekspresikan nilai, permohonan, syukur, hingga pergulatan batin. Tak sekadar rutinitas keagamaan, berdoa mampu membangun pengalaman pribadi akan perjumpaan antara diri dan “yang Sakral”. Doa dapat hadir dalam untaian kata suci, rapal mantra, hingga gerak tubuh keseharian. Karenanya, do’a tidak hanya hadir sebagai ruang formal, tetapi juga tempat terbuka untuk merefleksikan pengalaman yang berkelindan dengan kehidupan manusia. Sebagai ruang terbuka, doa dapat mendorong keterlibatan antaragama dalam relasi yang setara—alih-alih menjadi aksi keagamaan yang eksklusif. 

Menurut Durkheim, agama ada justru karena karakter dasar manusia untuk selalu hidup bersama (Pals, 2015: 91—93). Komunalitas itu kini hadir dalam bentuk aksi doa bersama lintas bersama. Karena itulah, rentetan kasus yang menimpa berbagai individu tersebut mampu membangkitkan kesadaran kolektif dan perlawanan dari beragam masyarakat lintas agama, umur, gender, maupun profesi. 

Tujuh orang yang menjadi perwakilan dari ragam agama di Indonesia—Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, dan agama leluhur (kepercayaan)—memimpin doa bersama. Pak Daryana, selaku tokoh penghayat kepercayaan, mendapat giliran pertama membaca doa. Secara simbolik, hal ini merupakan sebuah afirmasi terhadap agama leluhur sebagai sebuah identitas keagamaan meski termarjinalisasi secara administratif dan sosial oleh negara. Sambil berdiri berjajaran, ketujuh tokoh agama bergantian menyampaikan doa seturut tradisi agama atau kepercayaan masing-masing. Kesemuanya  merefleksikan harapan terhadap kondisi negara yang lebih baik lagi.

Kendati berbeda cara, tiap doa dari masing-masing pemuka agama bertujuan sama: pemulihan bangsa Indonesia dari konflik berkepanjangan serta harapan akan kondisi yang lebih baik lagi. Selama prosesi tersebut, massa aksi duduk tenang seraya mengindahkan tiap untaian doa. Hal ini merefleksikan bahwa empati merupakan jantung dari agama yang menjelma dalam komunalitas bersama. Dalam konteks ini, agama dengan caranya sendiri tengah mengadvokasi berbagai isu yang terjadi di masyarakat. 

Paradigma agama dunia yang diproduksi dalam nilai-nilai normatif seringkali bersandar pada dualisme nilai yang dianggap terpisah: sakral dan profan. Namun, aksi doa bersama tersebut  menunjukkan bahwa keduanya berkelindan dan tak jarang hadir bersamaan. Yang sakral tidak hanya hadir di ruang privat, tetapi juga ruang komunal yang profan. 

______________________

Yohanes Leonardus Krismawan Anugrah Putra adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Leo lainnya di sini.

Foto tajuk artikel: Yohanes Leonardus Krismawan Anugrah Putra (2025)

Tags: Agama agama dan negara Yohanes Leonardus Krismawan Anugrah Putra

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Faith could be cruel. It can be used to wound thos Faith could be cruel. It can be used to wound those we might consider "the other". Yet, rather than abandoning their belief, young queer Indonesians choose to heal by re-imagining it. The Rainbow Pilgrimage is a journey through pain and prayer, where love becomes resistance and spirituality turns into shelter. Amidst the violence, they walk not away from faith, but towards a kinder, more human divine. 

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
H I J A U "Hijau" punya banyak spektrum dan metrum H I J A U
"Hijau" punya banyak spektrum dan metrum, jangan direduksi menjadi cuma soal setrum. Hijau yang sejati ialah yang menghidupi, bukan hanya manusia melainkan juga semesta. Hati-hati karena ada yang pura-pura hijau, padahal itu kelabu. 

Simak kembali perbincangan panas terkait energi panas bumi bersama ahli panas bumi, pegiat lingkungan, dan kelompok masyarakat terdampak di YouTube CRCS UGM.
T E M U Di antara sains yang mencari kepastian, a T E M U

Di antara sains yang mencari kepastian, agama yang mencari makna, dan tradisi yang merawati relasi, kita duduk di ruang yang sama dan mendengarkan gema yang tak selesai. Bukan soal siapa yang benar, melainkan  bagaimana kita tetap mau bertanya. 

Tak sempat gabung? Tak perlu kecewa, kamu dapat menyimak rekamannya di YouTube CRCS.
Dance is a bridge between two worlds often separat Dance is a bridge between two worlds often separated by distance and differing histories. Through Bharata Natyam, which she learned from Indu Mitha, Aslam's dances not only with her body, but also with the collective memory of her homeland and the land she now loves. There is beauty in every movement, but more than that, dance becomes a tool of diplomacy that speaks a language that needs no words. From Indus to Java, dance not only inspires but also invites us to reflect, that even though we come from different backgrounds, we can dance towards one goal: peace and mutual understanding. Perhaps, in those movements, we discover that diversity is not a distance, but a bridge we must cross together.

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY