Kolonialitas Gender: Interpretasi Agama dan Warisan yang Dirawat
Afkar Aristoteles Mukhaer – 14 Januari 2025
Meskipun Indonesia telah merdeka secara fisik, konstruksi cisgender ala kolonial masih berkembang hingga saat ini. Ajaran keagamaan yang kian patriarkis turut merawatnya sampai kini.
Semasa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik agama dengan menjadikan ajaran di luar Kristen, Katolik, dan Islam sebagai geen goddienst atau nonagama (Yulianti, 2022). Politik agama tidak hanya memaksa masyarakat adat untuk mengikuti ajaran agama-agama yang diakui pemerintah, tetapi juga konstruksi gender yang dibawanya. Contohnya bisa kita lihat pada kasus komunitas bissu. Pemerintah kolonial menjadikan tradisi dan identitas seksual komunitas bissu sebagai “amoral”. Alhasil, komunitas tersebut menjadi objek utama konversi agama (Gouda, 1995).
Senada, Maria Lugones (2008) menjelaskan pengaruh penyebaran agama yang berkelindan dengan kolonialisme di Amerika Selatan telah menggeser pandangan masyarakat terkait gender dan seksualitas. Ketika kekristenan Barat datang, mereka memandang buruk praktik seksual sodomi masyarakat pribumi. Hukum kolonial Spanyol di Amerika Selatan kemudian menjadikan praktik seksualitas tersebut sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, pemerintah kolonial memaksakan ajaran Kristen ala Barat sebagai kompas moral yang baru.
Sementara, di Spanyol sendiri, praktik tersebut dianggap sebagai perilaku seksualitas “tidak biasa” bangsa Moor–muslim Afrika utara yang tinggal di Jazirah Andalusia. Peradaban Islam pramodern memang lebih terbuka terhadap keragaman ekspresi gender dan seksualitas. Menurut Michael W. Dols (2016), kekristenan Barat yang tengah terlibat persaingan dengan Islam mengutuk segala bentuk ekspresi peradaban Islam yang tengah berjaya, tak terkecuali seksualitas dan keragaman gendernya. Peradaban Islam pramodern mengakui keragaman manifestasi ambiguitas gender seperti khasi (kasim), khuntsa (interseks), hijra, mukhannats (transgender), mamsuh, (Alipour, 2016). Menariknya, keterbukaan dan toleransi terhadap orientasi nonheteroseksual pada periode keemasan peradaban Islam ini terdokumentasi dengan baik, alih-alih ditutupi (Anam dan Napitupulu [ed.], 2019).
Arif Nuh Safri dalam Tafsir Sensitif Gender & Seksualitas (2024) menyebutkan pergeseran toleransi terhadap keragaman gender dan seksualitas nonheteronormatif di dunia Islam terjadi semenjak masa imperialisme. Hukum Kekaisaran Ottoman, sebagai kekuatan Islam terbesar yang bertahan hingga awal abad ke-20, banyak dipengaruhi oleh imperialisme Inggris. Para penguasa dan kalangan ulama mencomot paksa interpretasi teks-teks keagamaan yang ambigu agar sesuai dengan kepentingan mereka. Alhasil, terjadi pemberangusan terhadap kelompok marginal. Hegemoni paradigma kolonial ini juga berdampak pada negeri-negeri non-Barat lainnya yang memiliki pandangan keberagaman gender dan seksual nonheteronormatif, seperti Indonesia di bawah penjajahan Belanda.
Di sisi lain, pembelajaran Islam yang lebih modern berdampak pada pergeseran cara pandang atas keragaman (Geissinger, 2012). Pergeseran paradigma ke arah fundamental ini justru dimulai dari kalangan elite pelajar Islam sebagai upaya merespons sistem politik sekuler Barat sejak abad ke-19. Pengajaran Islam pada era ini cenderung mempersempit ragam tafsir dan menekankan interpretasi yang otoritatif.
Salah satu contohnya ialah pengajaran kitab ‘Uqūd al-Lujjain fī Bayān Ḥuqūq az-Zaujain karya Nawawi al-Bantani (1813–1897) sebagai rujukan utama otoritatif mengenai gender dalam Islam. Etin Anwar (2018) menyebut bahwa kitab ini menyempitkan ajaran Islam di pelbagai pesantren. Peran gender secara patriarki dimaknai sekadar urusan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Sampai hari ini, paradigma pengetahuan semacam ini terus diproduksi, bahkan di pesantren perempuan. Alhasil, norma gender yang penuh ketimpangan ini menjadi norma(l) di kalangan perempuan muslim. Di sisi lain, norma patriarki dan misoginis ini juga terus dirawat masyarakat karena kolonialitas gender yang telah mengakar.
Mental Kolonialitas Gender yang Terus Dirawat
Meskipun Indonesia telah merdeka secara fisik, konstruksi cisgender dan patriarki ala kolonial masih berkembang hingga saat ini. Sebagai negara pascakolonial, salah satu babak terpenting dalam pasang surut keberagaman gender di Indonesia terjadi kala Orde Baru. Pemerintah, di bawah rezim Soeharto, menerapkan politik gender yang disebut Julia Suryakusuma (2004) sebagai “ibuisme negara”, percampuran pandangan feodalisme dan kapitalisme. Politik ini menjadikan perempuan lebih sering dikaitkan dengan aktivitas domestik, sementara laki-laki harus sebagai pemberi nafkah. Lagi-lagi, Orde Baru mengambil nilai-nilai standar patriarki yang telah dibentuk kolonialisme.
Pandangan bahwa perempuan identik dengan aktivitas domestik perlahan luntur ketika semakin banyak perempuan yang bekerja di sektor publik. Kendati demikian, ketimpangan itu masih ada dan kerap tertimbun. Representasi perempuan di bidang pekerjaan tertentu masih kurang karena masih ada sentimen maskulinitas dan pandangan gender. Selain itu, perempuan pekerja mengalami perjalanan karier yang berbeda daripada laki-laki. Sebagai akibat paradigma sosial yang patriarkis, mereka masih harus memikul beban domestik. Di sisi lain, masih terdapat ketidaksetaraan upah berbasis gender dan halangan menempati jabatan tertentu yang dianggap tidak cocok untuk perempuan. Hal ini menjadikan kesetaraan gender sebagai PR panjang yang harus diperbaiki.
Pandangan terhadap gender nonbiner juga serupa. Muncul pelbagai istilah dengan konotasi negatif seperti banci, wadam, dan waria dalam konstruksi heteronormatif Indonesia pascakolonial. Istilah transpuan dan transgender muncul belakangan seiring dengan bangkitnya gerakan LGBTQ+ untuk mendapatkan persamaan hak dan pengakuan negara. Ketiadaan pengakuan yang setara sebagai warga negara ini ikut melanggengkan diskriminasi dari faktor sosial, agama, dan politik.
Namun, gerakan LGBTQ+ dewasa ini juga tidak terlepas dari kritik. Ada bias gerakan LGBTQ+ Barat yang lebih menyorot perjuangan pada kulit putih tetapi belum memperhitungkan dinamika identitas gender masyarakat pascakolonial. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang lebih inklusif dalam menghadirkan kembali keberagaman gender. Gerakan LGBTQ+ di Indonesia menyadari keragaman ini sehingga melakukan pendekatan advokasi yang lebih inklusif. Di Yogyakarta, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah terbuka sebagai sarana pendidikan tafsir gender yang lebih inklusif, emansipatif, dan mendekonstruksi heteronormatif Islam. Secara lebih luas, gerakan LGBTQ+ di Indonesia membentuk modul SOGIESC yang melibatkan komunitas bissu sekaligus membahas seksualitas “agama” dan difabel. Produksi pengetahuan semacam ini menyediakan dasar pengetahuan kontemporer yang mendukung keberagaman seksualitas dan gender.
Baca artikel sebelumnya Menelusuri Kembali Jejak Marginalitas Gender di Indonesia
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: https://www.nationaalarchief.nl (domain publik)
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 5 tentang Kesetaraan Gender.