Menemukan Allah: Tantangan Menjadi Saint Queer di Tengah Arus Konservatisme Agama
Refan Aditya – 22 November 2022
Mengerasnya konservatisme agama di Sulawesi Selatan menjadi ancaman bagi komunitas Bissu sebagai pelestari dan pemimpin agama leluhur Bugis. Yang paling kentara adalah upaya untuk melucuti status gender nonbiner para Bissu. Namun, di tengah masifnya konservatisme tersebut, para Bissu tak berhenti mencari dan menggali ruang-ruang spiritualitas dalam dirinya dan tempatnya di masyarakat Bugis saat ini. Dinamika itu menjadi bahasan Wednesday Forum, 12 Oktober 2022 bertajuk “Queer Spiritual Space in Bissu Community South Sulawesi: In Search of Allah”. Diskusi ini disajikan oleh Petsy Jessy Ismoyo yang merupakan mahasiswa ICRS dan pengampu program studi Hubungan Internasional di Universitas Kristen Satya Wacana.
Bissu, Pluralisme Gender, dan Ancaman Konservatisme
Keragaman gender dan perjuangan hak gender nonbiner tidak hanya mewacana dalam isu global hak asasi manusia. Suku Bugis dari Sulawesi Selatan, Indonesia, mengakui eksistensi gender nonbiner. Bahkan, orang Bugis mengamini lima macam gender dalam budaya mereka yaitu Oroané, Makkunrai, Calabai, Calalai, dan Bissu. Oroané disematkan untuk laki-laki, Makkunrai untuk perempuan, Calabai untuk laki-laki yang berkepribadian perempuan, Calalai untuk perempuan yang berkepribadian laki-laki. Bissu disematkan untuk mereka yang tidak masuk dalam empat kategori tersebut dan tidak memiliki hasrat seksual. Pandangan dunia terhadap gender nonbiner ini mengakar pada I La Galigo, sebuah epos sakral masyarakat Bugis yang berisi kisah-kisah asal mula manusia dan tuntunan dalam menjalani hidup.
Di antara lima status gender itu, Bissu menempati kedudukan istimewa dan memiliki peran sosial, kultural, dan spiritual penting dalam tradisi leluhur orang Bugis. Komunitas Bissu berperan sebagai pemuka tradisi yang memimpin ritual dan upacara tradisi suku Bugis. Masyarakat adat suku Bugis meyakini bahwa seorang Bissu adalah mereka yang dipilih untuk memperantarai mereka dengan leluhur. Status Bissu sebagai sosok nongender merepresentasikan absennya keterikatan mereka dari kepentingan-kepentingan duniawi. Bissu diyakini mengakomodasi empat gender dalam dirinya sebagai cermin dari keseimbangan kosmos. Oleh karena itu, Bissu adalah orang yang disucikan dan dilindungi haknya sebagai pemangku adat. Karenanya, untuk membedakan dari queer dengan orientasi seksual, saya menyebut identitas queer Bissu sebagai saint-queer; queer yang suci dan aseksual.
Meski demikian, pluralisme gender tetap saja didebat sebagai bukan bagian dari kebudayaan Nusantara. Di saat yang bersamaan, tumbuhnya konservatisme Islam mengguncang tatanan norma masyarakat Bugis. Identitas multigender mereka dipandang menyimpang dari Islam yang memegang konsep gender biner (pria-wanita). Posisi dan peran penting Bissu dalam masyarakat dipersoalkan dan semakin dipinggirkan. Menjadi queer, terlepas dari status kesuciannya, dianggap menyimpang dan tidak normal. Ini yang membuat Bissu sulit diterima dalam masyarakat Bugis yang kini mayoritas beragama Islam.
Masyarakat “beragama” umumnya melihat queer sebagai immoral, sakit, atau menyimpang. Ini diperparah lagi dengan pola pikir konservatif yang menolak segala macam integrasi agama, spiritualitas, dan seksualitas. Alhasil, pandangan mereka terhadap komunitas Bissu serba negatif. Menurut Beagan dan Hattie (2015), kaum konservatif melihat spiritualitas sebagai sesuatu yang tersemat dalam laku moral dan tidak boleh bertentangan dengan agama. Argumen tersebut kerap digunakan untuk menghakimi kelompok queer sebagai tidak bermoral karena dianggap menyimpang dari agama. Spiritualitas komunitas Bissu divonis tidak selaras dengan ajaran agama Islam. Kondisi yang semacam ini membuat Bissu harus menanggalkan identitasnya sebagai Bissu untuk dapat memeluk agama Islam dan memasuki ruang-ruang spiritual publik umat muslim.
Jalan Bissu menemukan Allah: Mencari Ruang Spiritual Buat Bissu
Beranjak dari kondisi tersebut, Jessy memulai diskusi dengan pertanyaan, “mungkinkah bagi Bissu menjadi queer sekaligus menjadi muslim? Seperti apakah konsekuensinya?” Lebih jauh, “Adakah ruang spiritual buat para Bissu?”
Jessy mewawancarai dua Bissu yang mengalami dilema ini. Mereka adalah Puang Aji Didi dan Bissu Yuni. Puang Aji adalah sebutan bagi Bissu yang telah melaksanakan Haji. Puang Aji Didi mengisahkan dilema hidupnya sebagai Bissu sekaligus sebagai Aparat Sipil Negara (ASN). Awalnya, sulit bagi Puang Aji Didi untuk menerima kenyataan sebagai Bissu. Rintangan datang dari lingkungan kerjanya yang didominasi oleh orang Islam dan masyarakat non-Bugis. Meninggalkan salah satu kewajiban, sebagai Bissu atau sebagai pelayan publik, akan menyebabkan salah satu terbengkalai. Ia merasa bersalah ketika kesibukannya sebagai pelayan publik membuatnya tak mampu menunaikan kewajiban sebagai Bissu.
Dalam pergulatannya itu, akhirnya Puang Aji Didi menemukan Allah sebagai menjadi jalan keluar dilema yang ia hadapi.
Jika saya bisa menumpahkan air mata darah, saya akan menangis pada Allah. Ya Tuhan, kenapa aku lahir seperti ini? Namun, saya menyadari bahwa itu adalah kodrat saya. Allah sendiri yang menentukan hidup saya seperti itu – sayalah yang harus dimintai pertanggungjawaban atas hidup saya sendiri. […]Yang saya tahu bahwa kita harus terus berusaha menjadi manusia.
(Wawancara Jessy dengan Puang Aji Didi)
Puang Aji Didi bercerita, dulu ia dianggap waria yang dicap buruk oleh masyarakat, meski ia seorang muslim yang taat. Namun, stigma itu kini kian terkikis karena semakin banyak queer yang menunjukkan ketaatan dalam beragama dan bahkan pergi berhaji sepertinya. Puang Aji Didi selalu mengatakan kepada siapa saja bahwa Allah saja tidak pernah menghukumnya di tanah suci. Lalu, mengapa orang lain merasa berhak?
Cerita yang sama diperoleh Jessy dari Bissu Yuni. Bissu Yuni bercerita tekanan yang ia terima dan rasakan sebagai Bissu dan muslim sekaligus.
Sejujurnya, saya telah mengalami pergolakan batin. Saya tidak dapat menolak diri saya, tentang siapa saya. Saya tidak dapat melawannya, ini adalah identitas saya. Semakin saya menolaknya, semakin saya merasa menderita dan ketakutan. Saya tidak dapat memilih siapa diri saya, ini bukanlah kehendak saya. Sejauh saya tahu, tidak ada manusia yang ditakdirkan menjadi apa pun tanpa kehendak Allah. Saya yakin ini.[…] Saya menemukan Allah dalam menjadi seorang Muslim sekaligus seorang Bisu.
(Wawancara Jessy dengan Bissu Yuni)
Bissu Yuni memeluk Islam dan berpegang teguh bahwa takdirnya sebagai seorang Bissu adalah ketentuan dari Allah. Ia yakin bahwa Allah menetapkan padanya kewajiban dan tanggung jawab sebagai pemangku adat dan pelestari budaya. . Dengan menjadi Bissu dan menyerahkan seluruh hidupnya untuk berbakti pada masyarakat pribumi Bugis, Yuni merasakan kepenuhan atas makna hidupnya. Dengan menjadi Bissu, ia merasa menemukan Allah. Baginya, reaksi dan stigma orang lain itu menjadi urusan Tuhan.
Jessy menutup diskusi apik ini dengan catatan penting bahwa bagi Bissu pencarian ruang spiritual adalah sebuah perjalanan hidup. Menjadi Bissu sendiri adalah sebuah proses belajar hidup asketik. Aktivitas Bissu sebagai aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya melalui partisipasi aktif dalam kegiatan dan hari besar keagamaan, menunjukkan resistensi yang menubuh. Kesakralan dan spiritualitas Bissu ini terekspresikan dalam tindakan mereka sehari-hari, kapan dan di mana saja, baik dalam aktivitas sakral Islam maupun adat. Kehidupan asketik Bissu bersifat sosiosentris, bukan egosentris yang cenderung mengeksklusi dan mengalienasi diri dari masyarakat dan kehidupan. Sikap “zuhud” yang aktif, produktif dan partisipatif ini tampak dari peran mereka dalam memimpin upacara ritual dan menjalani kehidupan sehari-hari seperti orang umumnya .
Kisah dua Bissu tersebut menegaskan bahwa, bagi mereka, ruang spiritual bukan hanya soal ruang secara fisik. Seturut dengan Browne (2010), ia bisa ada di mana pun, tidak hanya di tempat-tempat yang dikeramatkan—seperti, gunung, pohon, batu, hutan, atau kuburan, tetapi juga dapat terwujud dalam setiap aktivitas keseharian maupun ketubuhannya.
______________________
Refan Aditya adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini adalah foto Hariandi Hafid dari Beritagar.id
Jika dalam pandangan Islam memegang konsep biner gender (pria-wanita), apakah berarti secara sex biologis jd tidak penting untuk dilihat? jika begitu, bukankah justru dengan hanya meihat sudut pandang gender, kemultigenderan justru menjadi fluid, karena terlepas sex biologisnya apa, yg penting gender apa yg menjadi cerminan diri orang tersebut? pun sebaliknya. Atau justru sudut pandang gender dan sex berkaitan erat dan tidak bisa dilepaskan?