Menimbang Keberagaman di Bawah Raja Anglikan
m rizal abdi – 1 Maret 2023
Wafatnya Ratu Elizabeth II beberapa waktu silam tidak hanya menyisakan duka bagi warga Inggris dan keluarga kerajaan, tetapi juga menggurat pertanyaan besar: Apa yang akan terjadi dengan masa depan Kerajaan Inggris, pusat dunia bagi Gereja Anglikan?
Jemaat Gereja Anglikan patut berdebar soal ini. Mei 2023 nanti, Uskup Agung Canterbury akan mengurapi sang calon raja dengan minyak suci, memberkati, dan menahbiskannya sebagai raja baru Inggris. Saat itu, Raja Charles III bukan hanya menjadi pemimpin bagi Britania Raya, melainkan juga Gubernur Tertinggi bagi gereja induk Anglikan sedunia yang juga bergelar Fidei Defensor, ‘sang pembela agama’. Menariknya, jauh sebelum naik tahta, Charles III sudah menyatakan bahwa dirinya ingin dikenal sebagai “Defender of Faith” atau ‘pelindung agama’ alih-alih sebagai pembela agama tertentu (Defender of the Faith). Pernyataan Charles pada wawancara tahun 1994 tersebut tentu saja memancing kontroversi dan kegelisahan saat itu. Bahkan, muncul usulan penangguhan atas penobatannya jika suatu hari ia mewarisi tahta Inggris.
Pasalnya, gelar “Defender of the Faith” bagi kerajaan Inggris merupakan status sakral yang keberadaannya terkait erat dengan eksistensi Gereja Inggris. Gelar ini disematkan oleh Paus Leo X kepada Raja Henry VIII pada 1521 atas upayanya menghalau ekspansi Gereja Luther. Ketika sembilan tahun kemudian Gereja Inggris berpisah dengan Katolik Roma, gelar ini tetap dipakai oleh kepala negara Inggris. Bedanya, term “the Faith” kini mengacu khusus pada iman Gereja Anglikan.
Kegelisahan tersebut makin menemukan muaranya ketika Sensus Nasional Inggris menunjukkan penurunan secara drastis populasi di Inggris yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Kristen dalam dua dekade terakhir. Jika pada 2001 sebanyak 72% populasi menyatakan diri sebagai umat kristiani, maka angka ini pada 2021 turun drastis menjadi 46% alias kurang dari setengah populasi. Sekitar 37% populasi memilih untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai tidak beragama. Dinamika ini menjadi salah satu pemantik Wednesday Forum yang bertajuk “British Religious Plurality in the Age of Charles III” oleh Profesor James Walters dari London School of Economics and Political Science pada 15 Februari 2023 silam.
Tren Sekularisme di Inggris
Membaca fenomena ini, James Walters menengarai setidaknya ada dua corak dalam tren sekularisme di Inggris Raya. Pertama, penolakan kepada Tuhan atau yang terkait ketuhanan. Kedua, keterputusan kultur masyarakat dengan institusi gereja. Corak yang pertama sering kali menjadi argumen utama para akademisi. Masyarakat Inggris modern perlahan mengesampingkan agama dan condong kepada ilmu pengetahuan yang mereka anggap lebih rasional. Selepas Revolusi Industri, masyarakat mulai beralih kepada dunia yang mekanistik. Pengetahuan akan alam semesta bisa dijelaskan tanpa membutuhkan referensi metafisika. Di sisi lain, tumbuh ideologi deisme yang menganggap Tuhan sebagai arsitek alam raya yang kemudian membiarkan sistem ini bekerja dengan sendirinya. Dalam konteks ini, Alkitab sekadar dianggap sebagai sumber moralitas.
Jika corak pertama bekerja di ranah intelektual, corak kedua tren sekularisme di Inggris berlangsung di ranah masyarakat awam. Pada dua generasi sebelumnya, menurut Walters, identitas kekristenan begitu melekat pada masyarakat Inggris. Ia mencontohkan bagaimana perjamuan Minggu, perayaan Natal, dan Paskah menjadi ruang sosial bagi masyarakat untuk berkumpul bersama. Identifikasi sebagai umat kristiani bukan berdasarkan ketaatan, melainkan kehadirannya di ruang-ruang bersama tersebut. Kini, berbagai perayaan keagamaan tersebut lebih berkutat pada persoalan konsumerisme dan individualisme. Bagi masyarakat semacam ini, gereja seolah makin kehilangan signifikansinya. Tak heran, narasi tentang kemunduran peran gereja pada masyarakat Inggris modern sering kali menjadi tajuk utama artikel atau berita tentang sekularisme di Inggris. Argumen populer yang paling sering ditunjukkan di media adalah kosongnya gereja-gereja klasik bergaya Victoria yang menjadi simbol supremasi dan kejayaan.
Namun, bagi Prof. Walters, narasi tersebut distortif dan cenderung menyesatkan. Faktanya, gereja-gereja bergaya Victoria itu memang tidak buka selain kebaktian di hari Minggu. Meminjam penelitian sosiolog Robin Gill, gereja-gereja Viktorian dengan ruang kebaktian yang luas itu memang tidak pernah penuh bahkan pada era Victoria. Gereja-gereja tersebut dibangun oleh para filantropis di jamannya untuk menunjukkan kemegahan bangunan kekristenan. Di sisi lain, narasi perpindahan preferensi masyarakat Inggris dari Kristen menjadi ateis juga kurang tepat. Menurutnya, yang terjadi ialah perpindahan dari Kristen kultural dan nominal menjadi apatis atau tidak berkomitmen terhadap kekristenan. “Dalam konteks gereja di Inggris, apatisme ini sering disamakan dengan tidak beragama,” tambahnya. Lagipula, ketidakhadiran di gereja-gereja tidak berarti hilangnya perjumpaan mereka dengan Tuhan.
Prof. James menunjukkan bahwa gereja masih berperan penting dan signifikan bagi masyarakat Inggris. Tiap tahun, jutaan warga Inggris mendapatkan pendidikan melaui berbagai sekolah yang terafiliasi dengan gereja. Ketika perekonomian Inggris sempat limbung sebagai efek Brexit, gereja menyediakan berbagai kebutuhan bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan para tunawisma. Alih-alih mengamini tren sekularisme, Prof. James justru menggarisbawahi, “Sekularisme gagal memberikan sesuatu yang sebelumnya telah disediakan oleh agama.”
Tantangan Keberagaman di Era Charles III
Terlepas dari dinamika proyek sekularisme benar-benar terjadi atau tidak, Charles III akan menghadapi situasi keberagama(a)n Inggris yang berbeda dengan sang ibu. Inggris kiwari adalah negara dengan jumlah penduduk imigran dari luar Eropa yang cukup besar dan berlatar belakang agama beragam. Para keturunan imigran yang menjadi warga negara Inggris perlahan mendapatkan posisi penting, sebut saja Sadiq Khan, keturunan Inggris-Pakistan yang menjadi Mayor London muslim pertama; dan Rishi Sunak, keturunan imigran asal India yang menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris beragama Hindu pertama. Pada saat yang sama, tensi dan kecurigaan masyarakat Inggris terhadap komunitas imigran kian meninggi. Survei pada tahun 2015 misalnya, hanya 8% dari warga Inggris yang memiliki pandangan positif terhadap muslim.
Charles III rupanya cukup sigap melihat situasi ini. Beberapa hari selepas wafatnya Ratu Elizabeth II, ia menemui tak kurang dari 30 pemimpin lintas agama di Istana Buckingham. Di hadapan mereka, Charles III menegaskan bahwa secara personal ia adalah seorang Anglikan yang taat sekaligus seorang pemimpin yang, “mempunyai tugas untuk melindungi keberagaman negara ini.” Menariknya, Charles III tidak berhenti di sini. Upaya perlindungan tersebut mencakup ruang-ruang praktik keberagamaan warga non-Kristen maupun mereka yang memilih hidup dengan cara sekuler. Dengan kata lain, calon raja baru Anglikan tengah memaknai ulang gelar “Defender of the Faith” yang ia sandang
Saat sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi menanyakan masa depan Kerajaan Inggris dengan membandingkan situasi monarki di Inggris dan Yogyakarta, Indonesia. Pada 2015, di tahun yang sama dengan pernyataan kontroversial Charles III tentang “Defender of the Faith”, Sultan Yogyakarta secara tidak langsung menyatakan bahwa dirinya melepas gelar keagamaan Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah sebagai upaya untuk memodernisasi nilai-nilai keraton. Merespons pertanyaan tersebut, Walters mengajak untuk menilik kembali kesejarahan gelar “Defender of the Faith” bagi raja atau ratu Inggris. Sebagai tanggung jawab yang menjiwai kerajaan Inggris selama berabad-abad, gelar tersebut terus-menerus dimaknai kembali tanpa harus kehilangan posisi pentingnya sebagai pemimpin sebuah komunitas agama. Tentu saja, pembuktian terhadap hal ini akan menempuh jalan panjang dan terjal—terlebih lagi, di tengah isu pernikahan sesama jenis, sikap gereja atas LGBTQ, dan konflik rasial yang terus meningkat dan membayangi. Pembuktian itu akan dimulai ketika Uskup Agung Canterbury mengurapi minyak suci dan memakaikan Mahkota Negara Kekaisaran (Imperial State Crown) ke kepala sang raja baru Anglikan.
______________________
m rizal abdi adalah alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2015 yang kini mengabdi sebagai cantrik di Divisi Pendidikan Publik CRCS UGM. Baca tulisan abdi lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini adalah foto Royal Family dari religionmediacenter.org.uk