Abstract
Corruption is a problem of civilization which, by extension, is a problem of culture. This must be confronted by reviving the cultural values of anti-corruption. Learning from local traditions which combat corruption can be a powerful instrument to fix corrupt tendencies in a state. Strong beliefs in local cultural values can become the base of these efforts. In other words, the culture will create the people, and the people will create the civilization. Presenter try to offer an overview of Mambagi Jambar (Sharing Pieces of Meat) activity as representative of the cultural activities which combat corruption. By basing on ethnographic interviews and analysis of related texts, the presenter will describe this discussion in a systematic matter. The first part introduces global corruption and, furthermore, the issue of corruption in Indonesia. The second part describes the activities of padalan jambar juhut in Toba Batak culture. The last part then discusses these activities and their contributions in an effort to revive anti-corrupt cultural practices.
Speaker
Subandri Simbolon is Public education Staf at CRCS-UGM. His research, focused on culture and populer issue, has been published in globethic.net journal. He finished his BA at Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang where he majored in Christian Philosophy. In 2014, he graduated from CRCS-UGM where focuse on Culture and Ecology. In 2014 and 2015, he awarded the first winner for globetthic.net essay competition about “Anti Corruption Ethics and Religiosity (2014) and “Responsible Leadership (2015)“.
Budaya Lokal
Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK
Diskriminasi terhadap masyarakat adat, penghayat, dan penganut kepercayaan hingga saat ini masih berlangsung di Indonesia. Meskipun demikian, Sunda Wiwitan sebagai salah satu agama lokal Sunda terus memperjuangkan hak-haknya sebagai warganegara. Masyarakat Sunda Wiwitan tidak hanya melakukan upaya demi terpenuhinya hak-hak sipil mereka, tetapi juga—bersama komunitas lain di sekitarnya—melawan eksploitasi sumber panas bumi di Gunung Ciremai oleh PT. Chevron Geothermal Indonesia. Dua hal tersebut menjadi tema utama diskusi peserta Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VII dengan masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Sabtu 28 November 2015.
Pangeran Djati Kusumah, pimpinan masyarakat Sunda Wiwitan, mengatakan banyak orang yang tidak mengerti dan tidak mengetahui Sunda Wiwitan, termasuk keterlibatan mereka dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi masyarakat Sunda Wiwitan, adat karuhun Sunda Wiwitan adalah ajaran leluhur Sunda yang menuntun kesadaran spiritual manusia Sunda terhadap kekuatan energi dalam semesta di luar dirinya selaku manusia; sadar pada hukum kepastian-Nya, teguh pada janji menjaga cara ciri manusia dan cara ciri bangsa. Kesadaran itulah yang mendorong mereka untuk terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di masa penjajahan serta perjuangan menentang eksploitasi sumber panas bumi di masa kemerdekaan ini.
Dalam kesempatan itu pula, Dewi Kanti, salah seorang putri Pangeran Djati Kusumah, menjelaskan masalah diskriminasi terhadap masyarakat Sunda Wiwitan sejak Zaman Belanda. Pada masa pendudukan Belanda, penganut Sunda Wiwitan diisukan sebagai komunitas api atau sempalan Islam, sehingga muncul pertentangan dari pesantren-pesantren. Pangeran Sadewa Alibassa atau dikenal Pengaren Madrais, pimpinan Sunda Wiwitan saat itu, sempat dipenjarakan dengan tuduhan memeras masyarakat dan dianggap gila, sehingga pada tahun 1901–1908 dibuang ke Boven Digul.
Selanjutnya, diskriminasi terkait administrasi sipil dimulai pada masa penjajahan Jepang, dengan berdirinya Shumubu yang saat ini menjadi Kantor Urusan Agama (KUA). Saat itu, masyarakat Sunda Wiwitan tidak dapat melakukan pencatatan pernikahan mereka secara legal karena tidak mengikuti ajaran Islam. Akibatnya, pernikahan masyarakat Sunda Wiwitan mendapatkan stigma “pernikahan liar.” Di masa kemerdekaan, posisi masyarakat Sunda Wiwitan semakin sulit. Pemerintah melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran dan Kepercayaan (Bakorpakem) yang dibentuk pada 1961, membatasi ritual dan kepercayaan masyarakat Sunda Wiwitan. Oleh karena itu, pada 1964, Pangeran Tedja Buana—putra Pangeran Madrais—menginstruksikan untuk memilih agama dengan simbol “berteduh di bawah cemara putih” guna menyelamatkan komunitasnya dari stigma perkawinan liar.”Sebagian masyarakat Sunda Wiwitan memilih masuk agama Katolik dan Kristen, dan sebagian kecil lainnya masuk ke Islam.
Namun pada 1981, kebijakan Pangeran Tedja Buana tersebut terkendala oleh Misi Gereja Katolik kepada sesepuh adat. Saat itu, acara gereja tidak mengakomodasi tradisi. Pangeran Djati Kusumah, pimpinan Sunda Wiwitan selanjutnya, menyatakan keluar dari Katolik yang kemudian diikuti masyarakat Sunda Wiwitan lainnya. Akibatnya, melalui Bakorpakem, negara melarang segala kegiatan tradisi Sunda Wiwitan, di antaranya Upacara Seren Taun—Syukuran Masyarakat Agraris—selama 17 tahun, dari 1982 hingga 1999.
Dengan berbagai upaya dan peluang untuk terus mempertahankan kepercayaan mereka, masyarakat Sunda Wiwitan membentuk paguyuban dan mendaftarkannya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meskipun demikian, hal itu tak banyak membantu mengatasi kesulitan administrasi sipil terhadap masyarakat Sunda Wiwitan. Pada proses pembuatan KTP penganut Sunda Wiwitan dianggap tidak beragama, dan kolom agama pun dikosongkan. Selain itu, dalam pembuatan akta kelahiran anak, hanya pihak ibu yang disebutkan, sedangkan bapak ditulis secara administratif sebagai ayah angkat. Siswa penganut Sunda Wiwitan harus menerima ajaran agama lain di sekolah dan sebagian diminta untuk mengikuti kegiatan-kegiatan agama lain. Kesulitan administrasi tersebut berimplikasi pada hak-hak sipil lainnya, seperti pendidikan, pekerjaan dan politik.
Dewi Kanti juga mengatakan, masyarakat Sunda Wiwitan berupaya untuk tetap berkarya dalam menjaga keutuhan tradisi—antara lain melalui produksi ukiran akar dan kayu khas Sunda, batik Sunda, tarian dan lagu-lagu Sunda, serta arsitektur bangunan dengan simbol-simbol Sunda Wiwitan. Selain itu, pihaknya juga berusaha untuk mendokumentasikan praktik pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh aparatur negara terhadap masyarakat Sunda Wiwitan. Bagi masyarakat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti berusaha untuk terus meningkatkan daya juang komunitas, penyadaran hak konstitusi, serta penyadaran kewajiban selaku masyarakat bela bangsa.
Lebih lanjut, masyarakat Sunda Wiwitan senantiasa terlibat aktif dalam usaha konservasi lingkungan dan menolak eksploitasi sumber daya panas bumi di lereng Gunung Ciremai. Okki Satria, suami Dewi Kanti, menceritakan bahwa usaha yang dilakukan sejak 2014 tersebut, melalui diskusi dan penguatan komunitas, tidak hanya dilakukan masyarakat Sunda Wiwitan, tetapi juga masyarakat sekitarnya, termasuk Ahmadiyah yang berdekatan dengan lokasi tersebut. Unsur masyarakat meliputi tokoh-tokoh masyarakat, pimpinan agama, pemuda, bahkan ibu-ibu ikut turun ke jalan memperjuangkan isu ini. Aksi penolakan tersebut berhasil mendesak Bupati Kuningan untuk berdiskusi dan mendengarkan keberatan mereka atas eksploitasi tersebut.
(Editor: A.S. Sudjatna)
Ali Jafar/Wednesday Forum
Banyak dari kita yang hanya tahu tentang Ammatoans dari general perspective tentang mereka. Kehidupan traditional mereka memang sangatlah menarik. Terlebih ketika kita melihat program TV yang menghadirkan serial etnik atau sejenisnya. Ammatoans sering digambarkan sebagai sekumpulan masyarakat kecil yang “masih” percaya pada “animism” dan mengadakan ritual untuk konservasi hutan. Di beberapa progam religi di pertelevisisan Indonesia, Ammatoans ditampilkan sebagai komunitas muslim yang yang masih mempraktikan “syncretism”, karena mereka memberikan sesajen kepada hutan, gunung dan daratan. Orang Indonesia memiliki banyak sekali stereotype tentang Ammatoans, tetapi siapa sebenarnya Ammatoans yang sesungguhnya? Terkait stereotype tentang Ammatoans ini, pada rabu 16 september, Wednesday Forum yang diadakan CRCS/ICRS kembali menghadirkan Dr. Samsul Ma’arif yang telah melakukan penelitian pada Ammatoans dan mengemukakan fakta sebaliknya.