Kendati lebih dari 90% responden di Indonesia mengatakan bahwa agama merupakan faktor penting bagi kebahagiaan mereka, agama bukanlah jawaban utama ketika mereka mengalami gangguan kesehatan mental.
Wednesday Forum Report
Ketika terdesak oleh bencana yang sudah lugas di depan mata, masihkah faktor identitas sosial, politik, dan keagamaan menjadi penting? Apakah pertanyaan itu tidak lagi penting karena perbedaan sudah dilebur demi alasan kemanusiaan dan penderitaan bersama? Jangan-jangan, hilangnya pertanyaan itu justru adalah tanda marginalisasi terselubung yang justru makin tajam karena desakan keterbatasan sumber daya?
Agama dan spiritualitas seolah menjadi dua entitas yang berbeda. Di tengah zaman yang kian berpacu dan berkelindan, dinamika interaksi keduanya menjadi kunci untuk memahami hubungan antaragama di masa depan.
Pengalaman transendental nun di atas langit seringkali tidak bisa kita gapai dengan intelektual. Di sinilah humor bekerja. Dengan humor, agama yang adiluhung nan surgawi bisa menjadi sangat manusiawi dan membumi.
Membingkai Peristiwa, Menggali Imaji
Hanny Nadhirah – 17 November 2023
Bagaimana sebuah foto dapat memiliki pengaruh besar dalam membentuk pemahaman kita tentang suatu peristiwa?
Foto atau gambar yang sering kita lihat rupanya bukanlah sesuatu yang netral. Di dalamnya mengandung konstruksi makna dan kepentingan tersembunyi. Sebagai sebuah visualisasi atas peristiwa, foto berpengaruh besar pada cara kita memahami, merasakan, dan mengambil tindakan terkait peristiwa tersebut. Fenomena inilah yang Elis Zulianti Anis, dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, diskusikan pada Wednesday Forum (27/09) “Picturing Power: State Media, and Religious Representation in the 2015 Sumatra Forest Fires.” Elis memaparkan temuan penelitiannya terkait publikasi foto-foto media lokal saat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Sumatra tahun 2015.
Berebut Wacana Otoritas atas Tubuh Perempuan
Nanda Tsani – 17 November 2023
Bagaimana jika kelompok perempuan yang menyuarakan hak “tubuhku otoritasku” dibalas dengan “tubuhku otoritas tuhanku” oleh kelompok perempuan yang lain?
“The personal is political”. Slogan politis yang mencuat pada gerakan feminisme pada tahun 1960-an di Amerika Serikat ini sangat pas untuk menggambarkan dinamika pertarungan wacana atas tubuh dan otoritas perempuan. Pandangan perempuan mengenai otoritas tubuhnya tidak semata hal personal tetapi juga bagian dari gerakan politik yang terus dimobilisasi. Salah satu bentuknya ialah desakan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan preventif maupun kuratif terkait kekerasan seksual yang banyak dialami oleh kaum perempuan.