Transformasi Modernitas yang Berlantas di Kanekes
Afkar Aristoteles Mukhaer – 15 Oktober 2024
Modernitas membawa tantangan bagi masyarakat Urang Kanekes. Namun, mereka punya cara tersendiri dalam menghadapinya.
Masyarakat adat Urang Kanekes—atau yang lebih populer dengan nama Baduy—di Banten selalu menarik perhatian para peneliti. Setidaknya ada 95 dokumen karya ilmiah yang memuat kata kunci “Baduy” dan 23 dokumen karya ilmiah dengan kata kunci “Kanekes” di situs Scopus. Ketertarikan ini muncul, di antaranya, karena masyarakat adat Kanekes sangat melestarikan ajaran tradisi leluhur sampai hari ini kendati wilayah adat mereka tidak jauh dari Jakarta, kota metropolitan serba modern.
Ketertarikan ini pula yang membawa Iis Badriatul Munawaroh untuk tinggal dan belajar bersama masyarakat adat Kanekes. Melalui tesisnya yang bertajuk “Baduy Luar of Banten: Engaging Modernity for Indigenous Transformation”, alumni CRCS ini menyingkap cara masyarakat adat di lapisan luar wilayah Kanekes (Baduy Luar) dalam merespons modernitas. Masyarakat adat Kanekes terbagi menjadi dua kelompok yaitu Urang Kanekes Luar (Baduy Luar) dan Urang Kanekes lapisan dalam (Baduy Dalam). Urang Kanekes luar ialah masyarakat adat yang menetap di 63 kampung dan cenderung menerima pengaruh modernisme. Sejatinya, keberadaan mereka terhubung dalam kesatuan utuh dengan Urang Kanekes lapisan dalam (Baduy Dalam) yang tinggal di tiga kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik).
Dalam Wednesday Forum (2/10), Iis menjelaskan bahwa modernitas memasuki kehidupan masyarakat adat Kanekes bagian luar sebagai ekses dari perluasan wilayah pertanian dan industri pariwisata. Pertumbuhan penduduk masyarakat adat Kanekes bagian luar sejak 1950-an mendorong tradisi mencari lahan berladang baru yang disebut sebagai nganjor, dan tidak jarang membangun pemukiman karena jaraknya yang jauh dari kawasan adat Kanekes.
Pembangunan pemukiman terjadi pada 1976 ketika pemerintah dan jaro (kepala desa) sepakat untuk memanfaatkan Gunung Tunggal yang jauh dari kawasan masyarakat adat. Akan tetapi, perluasan permukiman ini menghadirkan dilema bagi masyarakat adat Kanekes. Mereka harus memilih antara tinggal di permukiman baru tersebut dengan sayrat berpindah ke agama yang diakui pemerintah atau kembali ke kawasan adat Kanekes dengan tetap memeluk agama leluhurnya. Proses kependudukan di Gunung Tunggal berhenti pada tahun 2000. Mereka yang telah berpindah agama kemudian berasimilasi dengan masyarakat umum.
Modernitas Masuk Kanekes
Sejak 1990, Pemerintah Kabupaten Lebak menjadikan masyarakat adat Urang Kanekes sebagai objek pariwisata kebudayaan. Aktivitas pariwisata menyebabkan pro dan kontra. Banyak pengaruh dari luar Kanekes masuk dan menjadikan masyarakat Kanekes sebagai “tontonan”.
Dalam setahun, lebih dari 42 ribu wisatawan mengunjungi Desa Kanekes pada 2009—angka ini lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. “Kalau malam, [di sana] seperti pasar. Sangat padat di Baduy,” terang Iis. Sebagai respons atas masifnya kunjungan dan dampak pariwisata, kalangan adat mengganti pendekatan wisata menjadi Saba Budaya sebagai upaya meminimalkan dampak negatif terhadap budaya dan lingkungan Kanekes pada 2020.
Lapisan luar Urang Kanekes adalah kalangan paling terdampak dengan arus modernitas yang dibawa oleh wisatawan. Masuknya modernitas ini menyebabkan transformasi di beberapa sektor dari aktivitas ekonomi hingga pewarisan pengetahuan. Urang Kanekes yang dulunya menggantungkan hidupnya dengan bertani, kini sebagian besar dari mereka menjadi penjual buah tangan seperti kain tenun, baik secara daring maupun luring. Transaksi perdagangan yang awalnya melalui sistem barter dan emas, kini mulai menggunakan pembayaran digital seperti QRIS.
Pada sektor kesehatan dan praktik medis, Urang Kanekes biasa memanfaatkan bahan alami seperti daun handeuleum (Graptophyllum pictum) untuk mengobati sakit perut. Hari ini, tak sedikit Urang Kanekes lapisan luar yang memilih untuk pergi ke rumah sakit atau puskesmas terdekat.
Salah satu transformasi yang kentara terjadi ialah perubahan pola pewarisan pengetahuan. Tradisi Urang Kanekes melarang anak-anaknya untuk bersekolah, termasuk mengikuti kegiatan pembelajaran nonformal yang dilakukan dari pihak luar. Pengetahuan masyarakat diwariskan oleh kalangan tetua adat dan orang tua di dalam keluarga. Sejak penggunaan ponsel hadir di dalam masyarakat adat, anak-anak mendapatkan pembelajaran dari sarana digital. Perangkat digital juga mengubah tradisi teknologi, budaya material, dan kehidupan sehari-hari masyarakat dari komunikasi lisan menjadi daring.
Meski terlihat mampu beradaptasi, transformasi ini tidak jarang menimbulkan dampak negatif, misalnya, penggunaan plastik sekali pakai dalam ritual Urang Kanekes. Pada tradisi Ngubaran Pare, Urang Kanekes biasa menyediakan hancengan (bingkisan) berbungkus daun pisang atau bahan alami. Kini, bahan pembungkus itu berganti dengan plastik. Iis mengamati, masyarakat Kanekes memandang plastik memiliki sifat serupa dengan sampah organik seperti daun yang biasanya menjadi pembungkus hancengan. Akibatnya, penggunaan plastik tersebut menyebabkan permasalahan sampah baru yang tidak bisa terurai.
Iis juga mencatat pengalaman pribadinya selama di lapangan tentang kehadiran teknologi yang tidak sepenuhnya diterima Urang Kanekes. Seorang penjemputnya, Urang Kanekes, tidak bisa memarkir mobilnya dekat pintu masuk kawasan Kampung Adat Kanekes. ia terpaksa memarkir di tempat yang jauh. Bagi Urang Kanekes, memiliki kendaraan modern merupakan sebuah tabu. Urang Kanekes yang memiliki mobil akan distigma oleh masyarakatnya sebagai “tidak beradat lagi”.
Merespons Modernitas
Menurut Iis, kalangan modern umumnya mengangap masyarakat adat sebagai “yang tertinggal sehingga harus dibuat beradab” atau, sebaliknya, “masyarakat ideal yang seharusnya tidak tersentuh oleh modernitas yang palsu”. Paradigma ini menganggap transformasi sebagai sebuah pelanggaran adat. Penyikapan dan pemanfaatan pelbagai aspek modernitas selalu menimbulkan perdebatan dan diskusi di dalam kelompok masyarakat.
Iis menekankan bahwa Urang Kanekes menghayati transformasi ini melalui konsep pengetahuannya yang disebut Pikukuh Karuhun. Pengetahuan ini mengajarkan akan keseimbangan alam dan manusia sebagai kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Mereka memandang bahwa manusia adalah makhluk yang “hirup numpang di alam (hidup menumpang di alam)”, dan meyakini bahwa alam merupakan sosok selain manusia di dunia.
Oleh karenanya, dalam paradigma Urang Kanekes, modernitas juga dapat membantu untuk melindungi kawasan Sasaka Domas (tempat suci masyarakat Kanekes). Misalnya, penjualan cenderamata secara daring dapat mengurangi serbuan kunjungan wisatawan yang ingin mendapatkan buah tangan khas Kanekes. Dengan demikian, kawasan Sasaka Domas tetap terjaga sebagai bentuk penghormatan kepada alam. Di sisi lain, masyarakat dapat mempertahankan mata pencaharian tradisional yang berkelanjutan sekaligus memfasilitasi pertukaran timbal balik antara Urang Kanekes dan dunia luar.
Pendekatan paradigma Saba Budaya, sebagai pengganti konsep pariwisata, merupakan hasil transformasi dari paradigma agama adat Urang Kanekes. Kalangan adat ingin menjaga nilai-nilai leluhurnya sebagai sumber pembelajaran, alih-alih hanya menjadi objek tontonan wisatawan. Secara linguistik saba dapat disinonimkan dengan silaturahmi, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa Saba Budaya ajang pertemuan yang setara antara masyarakat adat dan pengunjung.
Namun, transformasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Urang Kanekes. Masifnya penggunaan telepon genggam membuat anak-anak Kanekes kecanduan. Di sisi lain, mereka kewalahan untuk mengolah informasi dari dunia digital. Media sosial juga menjadi ruang berbahaya bagi perempuan Urang Kanekes. Tak sedikit perempuan Kanekes yang menjadi korban eksploitasi dan kekerasan seksual di dunia maya.
Keterikatan Urang Kanekes dengan teknologi hanyalah salah satu dari sekian tantangan dalam menghadapi transformasi modernitas. Iis menyatakan, sebetulnya masih ada banyak tantangan bagi mereka hari ini yang tak kalah pelik. Paradigma agama adat menunjukkan bahwa Urang Kanekes lapisan luar punya upaya sendiri untuk bertransformasi menghadapi modernitas. Berkat interaksi yang intens dengan dunia luar, masyarakat Kanekes kini mulai terbuka dengan pembahasan terkait eksploitasi seksual yang sebelumnya dianggap tabu. Di sisi lain, kalangan adat Kanekes Dalam sementara ini mengambil sikap isolasi diri dari internet untuk menghindari dampak buruk dunia digital terhadap pendidikan tradisi generasi muda.
Transformasi Urang Kanekes memang akan terus berlangsung. Menghadapi dunia yang terus berubah dan senantiasa membawa hal baru, Urang Kanekes perlu duduk bersama untuk menangani ekses dari modernitas, seperti penanganan masalah timbulan sampah plastik dan pentingnya program literasi digital. Mereka juga tidak menutup dukungan dari pihak luar. Namun, upaya transformasi itu mereka lakukan dengan tetap memegang Pikukuh Karuhun.
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Iis Badriatul Munawaroh.