Sebuah Jalan untuk Pengakuan:
Negosiasi dan Rekognisi dalam Festival Cheng Ho
Refan Aditya – 19 Oktober 2023
Tambur ditabuh, gemuruh perkusi memenuhi Kelenteng Tay Kak Sie dan memecah langit pecinan Semarang 19 Agustus 2023. Orang-orang mulai memadati halaman kelenteng. Beberapa kelompok seni Tionghoa sudah bersiap sejak dini hari. Mereka akan mengarak arca (kong co) Laksamana Cheng Ho atau Sam Poo Tay Djien menuju Kelenteng Sam Poo Kong. Arak-arakan ini, yang juga disebut Kirab Sam Poo, merupakan rangkaian acara “Festival Cheng Ho 2023”. Kirab Sam Poo dirayakan setiap tanggal 29 bulan enam penanggalan Imlek sebagai peringatan ke-618 kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Semarang.
Cheng Ho, Sosok Milik Bersama
Hari itu, kami ikut barisan Boen Hian Tong, organisasi perkumpulan Tionghoa yang sudah eksis sejak 1876—tertua di Semarang. Arak-arakan dimulai pukul lima pagi. Kami berpawai sejauh enam kilometer menyusuri Kota Semarang dari kampung pecinan Kauman, melewati Lawang Sewu, menuju tempat Sang Laksamana diyakini pernah singgah. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya bising tabuhan genderang mengiringi puluhan atraksi tari Barongsai dan Liong yang meliuk-liuk, menarik pasang mata warga Semarang dan wisatawan di sepanjang bahu jalan. Masyarakat keturunan Tionghoa tampak khusuk mengepalkan tangan, melemparkan hormat dari kejauhan.
Menurut cerita lokal, Laksamana Cheng Ho berlabuh di perairan Semarang untuk mengistirahatkan juru mudinya, Ong King Hong, yang jatuh sakit. Ong King Hong inilah yang lalu menetap sementara Laksamana Cheng Ho melanjutkan pelayarannya. Untuk menghormati Sang Laksamana, Ong King Hong mendirikan petilasan yang kemudian menjadi kelenteg berisi patung Cheng Ho beserta arca dan altar-altar untuk para suci dan leluhur. Sesampainya di Sam Po Kong, arca Cheng Ho yang kami arak dipertemukan dengan arca Cheng Ho di sana. Orang-orang keturunan Tionghoa pun bersembahyang di tengah seremoni resmi festival dan lalu lalang wisatawan di sekitaran kompleks kelenteng yang sangat luas itu.
Festival memperingati kedatangan Laksamana Cheng Ho sangat berarti untuk warga keturunan Tionghoa di Semarang. Cheng Ho bukan sekadar pelancong dari daratan Tiongkok yang singgah di Nusantara. Sebagai utusan kerajaan dinasti Ming pembawa pesan persahabatan, kehadiran Cheng Ho menorehkan jejak awal relasi diplomatik antara Nusantara dan Tiongkok. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai tokoh penyebar Islam. Mazhab teori Cina dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara mengemukakan bahwa Cheng Ho merupakan muslim sejak lahir dan pelawatannya menandai permulaan penyebaran Islam mazhab Hanafi di Tanah Jawa (Sen, 2009; Suryadinata, 2005; Qurtuby, 2003;). Dengan demikian, Cheng Ho adalah milik bersama, milik orang Tionghoa, juga milik orang Semarang yang mayoritas beragama Islam. Dalam sambutannya, Walikota Semarang Heveanita Gunaryanti Rahayu menyatakan bahwa kedatangan Cheng Ho merupakan bagian dari lintas sejarah Kota Semarang.
Negosiasi Cerdik Kewargaan
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang, Festival Cheng Ho ini menjadi satu strategi bagi rekognisi tradisi dan agama Tionghoa oleh negara dan masyarakat setempat. Penggunaan tajuk sebagai sebuah festival budaya dan pariwisata, alih-alih perayaan keagamaan, merupakan negosiasi agar ritual sakral ini dapat tampil leluasa di ruang publik. Di sisi lain, kirab Cheng Ho merupakan salah satu cara kelompok warga Semarang untuk memelihara kesadaran identitasnya sebagai masyarakat keturunan Tionghoa terlepas dari agama resmi yang mereka anut. Meminjam istilah Charles T. Lee (2016), upaya ini merupakan salah satu bentuk kecerdikan kewarganegaraan (ingenious citizenship). Cheng Ho, dengan ketionghoaan dan keislamannya sekaligus, bekerja sebagai penanda negosiasi budaya dalam lanskap demokrasi dan politik rekognisi.
Perlu dicatat, eksistensi masyarakat keturunan Tionghoa memang tak pernah lepas dari negosiasi-negosiasi kewarganegaraan, bahkan semenjak jaman kolonial (simak artikel dinamika kewargaan Tionghoa di Nusantara dalam “Melintasi Sarang Naga di Bawah Angin: Ragam Pecinan di Nusantara”). Pada periode Orde Baru, eksistensi dan ekspresi masyarakat keturunan Tionghoa di ruang publik ditekan habis-habisan melaui kebijakan asimilasi. Nama-nama yang berkaitan dengan Tionghoa dipaksa berubah, termasuk kelenteng-kelenteng yang tadinya menggunakan bahasa dan aksara Tiongkok. Di Litang Gerbang Kebajikan Solo, saya menemukan sebuah buku peringatan ulang tahun kelenteng Sukhaloka berjudul Selayang Pandang Lintas 151 Yayasan Sukhaloka Surabaya (1981). Ternyata kelenteng tersebut mulanya bernama Hok An Kiong. Dalam kata sambutan, penggantian nama ini merupakan cara,
“… untuk memperlicin usaha-usaha proses pembauran dalam kehidupan atau asimilasi antar perorangan dan atau antar kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda satu dengan lain bertempat pada bumi dan tanah air Indonesia”.
Kebijakan asimilasi ini juga menyasar individu. Masyarakat keturunan Tionghoa harus mengubah namanya menjadi bernuansa lokal atau daerah agar bisa dijustifikasi sebagai orang Indonesia. Padahal, masyarakat keturunan Tionghoa sudah lama menetap dan mengakar di Nusantara jauh sebelum ide kebangsaan Indonesia lahir. Dalam bingkai sejarah politik yang demikian, tidak berlebihan kiranya jika keberadaan Festival Cheng Ho ini merupakan upaya masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang dalam meraih rekognisi di ruang publik.
Dalam konteks ritual, festival ini merupakan jalan untuk menegosiasikan praktik sembahyang arwah yang menjadi bagian penting dari agama rakyat (folk religion) masyarakat keturunan Tionghoa. Sembahyang arwah merupakan upaya untuk menghormati sekaligus berkomunikasi dengan leluhur, sebagai wujud bakti kepada orang tua dan jalan untuk merawat akar identitas ketionghoaannya. Dalam diskursus agama di Indonesia, sembahyang leluhur kerap dilekatkan dengan praktik sesat, menyimpang, dan terbelakang (Maarif, 2017). Melalui bingkai Festival Cheng Ho, ritual ini dapat lepas dari stigma negatif praktik animisme. Ketika berada di Kelenteng Sam Po Kong, saya mengamati beberapa warga keturunan Tionghoa melakukan ritual sembahyang arwah dengan khidmat. Wisatawan di sekitarnya pun menghormatinya dengan tidak sembarangan mengambil foto. Masyarakat lokal dan wisatawan tidak merasa asing dan aneh dengan ritual sembahyang tersebut. Sekali lagi, festival memberi jalan untuk rekognisi ini.
Yang Tersembunyi di Balik Rekognisi
Pencantuman acara ini sebagai agenda tahunan Kota Semarang boleh jadi merupakan bentuk pemenuhan hak-hak kewarganegaraan masyarakat keturunan Tionghoa untuk mengekspresikan tradisi keagamaannya di ruang publik. Kendati demikian, rekognisi semacam ini tetap menyisakan ketegangan. Dalam konteks Indonesia hari ini, agar sebuah keyakinan dapat terhindar dari tuduhan sesat, jalannya bukan dengan mengupayakannya supaya menjadi agama, melainkan membalutnya sebagai ekspresi kebudayaan. Sebagai sebuah ekspresi kebudayaan, apalagi di bawah payung pariwisata, pertimbangannya kemudian adalah sejauh mana keberadaan ritual atau praktik tersebut menguntungkan bagi pemerintah. Dengan kata lain, eksistensi perayaan kedatangan Cheng Ho sebagai festival tahunan kota tergantung sejauh mana ia mampu mengundang cuan.
Di sisi lain, penyematan Festival Cheng Ho sebagai sebuah perayaan atas sebuah “kedatangan” juga menyimpan penanda yang lain. Cheng Ho dan awak kapalnya, yang merupakan bagian dari leluhur masyarakat keturunan Tionghoa, dinarasikan sebagai seorang pendatang dari jauh, dari sebuah kerajaan adikuasa pada masanya dengan ambisi dan misinya; bukan seorang yang lahir dan mengakar di tanah ini. Narasi “kedatangan” ini seolah menegaskan bahwa senyatanya orang-orang keturunan Tionghoa yang merayakannya adalah juga “pendatang”.
Negosiasi hak kewarganegaraan di ruang publik telah berhasil ditempuh melalui rekognisi Festival Cheng Ho sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Kota Semarang. Sosok Cheng Ho sebagai leluhur orang Tionghoa berkait kelindan dengan memori sejarah penyebaran Islam. Namun, tak bisa dimungkiri, masyarakat keturunan Tionghoa masih kerap dihadapkan dengan politik memori dan stereotipe asing. Rekognisi masyarakat keturunan Tionghoa sebagai etnis lokal yang telah lama mengakar dan menjadi bagian dari Nusantara masih merupakan jalan panjang.
______________________
Refan Aditya adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari Dinas Pariwisata Kota Semarang (2023).