Liputan dari hari ketiga bersama Jacky Manuputty dalam rangkaian kuliah umum "Imam & Pastor" dan lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman.
Berita
A. S. Sudjatna | CRCS | Liputan
Hadirnya kelompok-kelompok radikal-intoleran yang kerap melakukan kekerasan atas nama agama adalah suatu tantangan iman. Dalam menghadapi kelompok ini, umat beriman semestinya tidak membalasnya dengan kekerasan yang serupa, tetapi harus dengan cara-cara yang selayaknya dilakukan orang beriman, yakni cara yang penuh kasih dan kelembutan.
Itulah di antara yang diungkapkan Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ, dalam seminar nasional bertajuk Merajut Persaudaraan, Mengikis Sikap Intoleran yang dihelat di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma pada 16 Mei 2017. “Yang paling membuat tantangan iman semakin besar di dalam diri kita adalah kalau yang menjadi marah besar itu kita sendiri. Itu tantangan iman untuk diri kita sendiri,” ungkapnya
Oleh sebab itu, menurut Romo Kardinal, gejala arus balik yang tengah terjadi di masyarakat akhir-akhir ini atas perilaku kelompok radikal itu hendaklah pula diwaspadai agar tidak melenceng dari batas-batas yang telah ditentukan negara dan diajarkan agama. Perlawanan atas perilaku intoleran dan kekerasan dari kelompok radikal mesti tetap mengedepankan Pancasila, keutuhan NKRI, dan menjunjung tinggi kebinekaan.
Dalam hal ini, Romo Kardinal menyatakan apresiasi terhadap Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang konsisten menjaga persaudaraan di antara umat beragama dan menegaskan bahwa Islam harus menjadi rahmat bagi semua, rahmat bagi seluruh ciptaan Tuhan. “Saya tersentuh saat pimpinan Muhammadiyah, Haidar Nashir, menyampaikan khotbah pada perayaan Idul Adha yang berjudul Menyembelih Egoisme, Merayakan Solidaritas,” ujar Romo Kardinal. Ia kemudian menyitir beberapa bagian dari khotbah Haidar Nashir tersebut yang dimuat Kompas, 11 September 2016. Menurut beliau, sikap altruis yang disebut-sebut oleh Haidar Nashir di dalam khotbahnya itu akan melahirkan sikap kasih kepada sesama tanpa sekat agama, suku, ras, dan golongan.
Terhadap umat Katolik dan Protestan, Kardinal Darmaatmadja menyerukan untuk tetap mengutamakan kasih atas sesama seperti mengasihi diri sendiri. Sebab, mengutip Yohanes, kasih kepada Tuhan harus dibuktikan lewat mengasihi sesama. “Karena barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, maka tidak mungkin mengasihi Allah yang tak dilihatnya,” ujarnya menegaskan.
Menutup ceramahnya, Romo Kardinal menegaskan kembali pernyataanya. “Kita tegakkan negara kita berdasarkan Pancasila; kita perkokoh NKRI dan persaudaraan nasional. Namun, sikap kita yang inklusif tetap perlu dipertahankan selalu, terhadap kelompok yang radikal pun. Hukum balas-membalas tidak boleh dilakukan oleh orang beriman. Sebaliknya, kita tetap memegang teguh sikap mengasihi dan mengampuni. Kita ampuni orangnya meski kita menolak perbuatannya.”
Menanggapi Romo Kardinal, Buya Syafi’i Ma’arif sebagai pembicara selanjutnya mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Romo Kardinal itu, terutama dalam soal kasih, persis seperti ajaran Islam di dalam mengasihi sesama. “Apa yang disampaikan Kardinal itu seperti suara seorang muslim yang belum terkontaminasi.”
Buya Syafi’i menegaskan bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin itu universal bagi seluruh umat manusia. Kemunculan kelompok Islam radikal yang kerap melakukan kekerasan seperti itu disebabkan mereka terjebak dalam lingkaran—yang disebut Buya Syafi’i sebagai—“misguided arabism” yang sudah berlangsung berabad-abad dan membuat peradaban umat Islam—khususnya di wilayah Timur Tengah saat ini—porak poranda.
“Yang berlaku di dunia Arab sekarang ini adalah peradaban Arab yang sudah bangkrut,” tegas Buya Syafi’i. Celakanya, peradaban yang bangkrut ini dicoba untuk dibawa ke Indonesia oleh kelompok-kelompok tertentu. Tak heran jika isu sektarian yang menjadi pemicu perpecahan umat Islam di dunia Arab sana juga mulai muncul dan berkembang di Indonesia saat ini.
Buya Syafi’i menyebutkan bahwa perilaku kekerasan kelompok radikal itu muncul dikarenakan mereka mengadopsi teologi maut. “Teologi maut ini keluar dari perasaan keputusasaan. Hopeless. Tidak berdaya. Kalah. Kalau sudah kalah, ujungnya kalap,” ucapnya. Akibatnya, tak sedikit umat Islam yang akhirnya lebih memilih pindah ke negara-negara mayoritas nonmuslim, sebab di sana dirasa lebih aman dan nyaman untuk mengekspresikan diri. Sedangkan di kampung halamannya, mereka diberangus.
Pembicara ketiga, Widiyono, tokoh dari umat Buddha dan juga alumnus CRCS, menegaskan bahwa agar tidak terjebak dalam radikalisme, setiap kita mesti menyadari akan niscayanya sebuah keragaman. Kesadaran akan saling keterikatan di dalam keragaman dan bukannya saling bermusuhan sangat dibutuhkan. Di dalam ajaran Buddha, menurutnya, kesadaran akan keragaman dan saling keterhubungan di antara segala hal disebut dengan paticcasamuppada. Hilangnya kesadaran akan hal ini akan melahirkan sikap permusuhan dan tindak kekerasan yang nyata, seperti yang dapat disaksikan pada perilaku sekelompok penganut agama Budha di Sri Lanka atau Myanmar. Menurutnya, tanpa keragaman tak akan ada kehidupan.
Pembicara keempat, Romo Mateus Purwatma dari Katolik, menegaskan bahwa agar tidak terjebak dalam radikalisme ini, seorang Katolik harus menjadi misioner, menjadi seorang saksi, yakni mengamalkan ajaran Yesus di tengah masyarakat beriman secara cerdas, mengerti apa yang diimani dan dapat membaca Alkitab secara benar. Menurutnya, kemampuan membaca Alkitab secara benar ini sangatlah penting, agar saat berjumpa dengan ayat-ayat yang mengekslusikan yang lain tidak terjebak dalam pembacaan yang kaku, sehingga tak salah mengerti. Selain itu, Romo Mateus melanjutkan, seorang Katolik juga mesti menyadari bahwa ia beriman dalam konteks masyarakat majemuk, sehingga saat ia berjumpa dengan orang dari agama lain, ia tahu bagaimana cara menempatkan keimanannya di sana.
*A. S. Sudjatna adalah mahasiswa CRCS angkatan 2015.
Beasiswa bebas SPP di CRCS untuk alumni perguruan tinggi non-Islam.
“Gereja-gereja memahami perdamaian secara sempit, sekadar sebagai negative peace. Perdamaian dianggap tercapai apabila tidak ada konflik.”
Pada hari Senin, 22 Mei 2017, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengumandangkan deklarasi meneguhkan kembali Pancasila. Termasuk dalam rangkaian acara adalah sarasehan dan FGD bersama akademisi dan budayawan.
A.S. Sudjatna | CRCS | Liputan
“Tidak banyak orang yang berpikir bahwa ada ‘Islam Tuhan’ dan ada ‘Islam manusia’. Kebanyakan orang selama ini berpikir bahwa Islam itu, ya, hanya Islamnya Tuhan.” Demikian ungkap Dr. Haidar Bagir di awal peluncuran buku terbarunya yang berjudul Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (Mizan, 2017) pada Jumat, 7 April 2017. Acara bedah buku ini diadakan oleh Laboratorium Studi al-Quran dan Hadis (LSQH) di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga.
Membuka diskusi, Dr. Haidar Bagir menjelaskan dua dari sekian alasan yang membuatnya memilih judul bagi karya yang menjadi penanda ulang tahunnya yang keenampuluh itu. Pertama, menurutnya, Islam yang kini dipahami oleh seluruh muslim adalah “Islamnya manusia”, bukan Islamnya Tuhan. Artinya, apa yang dipahami oleh setiap muslim saat ini sebagai Islam atau ajaran Islam adalah keislaman yang sudah melalui proses tertentu, yakni melewati saringan otak dan hati masing-masing individu, yang tentu saja tidak kosong dari beragam faktor, termasuk nafsu di dalamnya. Karenanya, ia berbeda dengan Islam yang seutuhnya dikehendaki Tuhan. Dalam hal ini, manusia hanyalah berupaya untuk memahami Islam untuk sedapat mungkin mendekati yang dimaui Tuhan.
Dengan memahami hal ini, menurut Dr. Haidar, siapapun akan sadar bahwa setiap muslim, sepintar dan sealim apa pun, tetap memiliki peluang kesalahan sekecil apa pun di dalam pehamanan keislamannya. Tidak ada seorang pun—selain Rasulullah Saw.—dari barisan umat Islam yang pemahaman keislamannya itu mutlak betul. Dalam pandangan Dr. Haidar, jika ada orang yang menganggap bahwa hanya pemahaman keislamannyalah yang mutlak benar sedangkan yang lain mutlak salah, dia telah menempatkan dirinya sebagai Tuhan atau wakil Rasulullah.
Seharusnya, lanjut Dr. Haidar, kita belajar kepada para imam mazhab seperti Imam Syafi’i atau Imam Malik yang secara sadar mengatakan bahwa pendapatnya adalah pendapat yang benar namun tetap berpeluang salah; dan pendapat yang lain salah namun tetap berpeluang benar. Dengan begitu, siapapun tak akan berupaya memonopoli kebenaran. “Sekarang enggak; kalau melawan pendapat saya, berarti melawan Tuhan!” ujar Dr. Haidar mengungkapkan kesedihannya atas sekelompok umat Islam yang kerap menuduh sesat muslim lain dari luar golongannya.
Dr. Haidar juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan untuk muncul lebih dari satu tafsir yang sama-sama benar dalam memahami kitab suci. Ini karena adanya sudut pandang atau pendekatan yang berbeda dalam membacanya. Menjelaskan ini, Dr. Haidar menggunakan analogi piramida: “Kalau kita lihat sejajar mata, maka tampak segitiga; kalau lihat dasarnya, maka segi empat; kalau dari atas lurus, maka jadilah seperti titik.” Perbedaan pandangan ini bukanlah sebentuk kekeliruan, namun parsialitas. Menguatkan pandangannya, Dr. Haidar menyitir ucapan Rumi bahwa kebenaran itu laiknya cermin yang jatuh ke bumi dan pecah berkeping-keping, lalu setiap orang mengambil satu kepingannya.
Alasan kedua memilih judul tersebut adalah bahwa Islam, menurut Dr. Haidar, diturunkan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Agama adalah seperangkat ajaran yang diturunkan demi kebaikan manusia. Di antara cara untuk itu, Dr. Haidar menekankan, adalah dengan menginternalisasi sifat Tuhan yang secara khusus tercantum dalam ucapan basmalah: ar-Rahman dan ar-Rahim. Orang Islam yang baik adalah orang yang menghabiskan hidupnya menebar kasih sayang ke semua manusia, menjadi agen rahman-rahim. Dan adalah keanehan, jika ada orang yang mendaku membela Tuhan namun begitu bernafsu membinasakan manusia, seolah-olah semakin banyak membunuh semakin ia mendapat rida Tuhan.
Di tengah-tengah diskusi, Dr. Haidar mengutarakan beberapa hal terkait isi buku setebal 288 halaman itu. Di antara yang sempat ditekankannya ialah tentang sejarah perang Nabi. Karena ada banyak narasi peperangan tertulis dalam literatur sirah Nabi, beberapa orang mengira bahwa perang adalah bagian esensial dari agama Islam. Padahal, jika dijumlah hari-hari yang digunakan Nabi untuk berperang, paling hanya dua tahun lebih sedikit saja dari total 23 tahun kerasulan beliau. “Bahkan,” lanjut Dr. Haidar, “ada penelitian yang minimalis, yang tidak memasukkan sariyyah, sehingga jika dijumlah perangnya Nabi hanya delapan puluh hari saja.” (Catatan redaksi: Dalam terminologi literatur sirah Nabi, sariyyah adalah ekspedisi pasukan tanpa dipimpin dan tak didampingi Nabi; ini yang membedakannya dari ghazwah yang dipimpin langsung oleh Nabi.)
Jika diajarkan dengan benar, Islam sebetulnya adalah agama yang menekankan perdamaian dan cinta kasih, bukan agama peperangan dan kebencian. Menegaskan hal ini, Dr. Haidar mengutip Imam Ja’far Shadiq yang secara retoris pernah berucap, “Hal al-din illa al-hubb?” (Apalagi agama itu kalau bukan cinta?) Sejalan dengan ini ialah sabda Nabi, “Cinta adalah asas(agama)ku” (al-hubb asasi). Kalau ada perintah mempersiapkan diri untuk berperang, seperti ditemukan dalam QS al-Anfal [8]:60, menurut Dr. Haidar, itu adalah tindakan preventif menghadapi serangan kelompok lain, dan bukan ditujukan untuk tindakan ofensif.
Hal lain yang juga sempat ditekankan Dr. Haidar dalam diskusi buku ini adalah tentang istilah yang populer dipakai untuk menyebut non-muslim, yaitu “kafir”. Dr. Haidar lugas menuturkan bahwa tidak seluruh non-muslim dapat dikategorikan kafir. Non-muslim yang dapat dikategorikan kafir hanyalah non-muslim yang telah menerima dakwah Islam dan telah sangat jelas memahaminya sebagai suatu kebenaran tetapi dengan sadar memilih untuk mengingkarinya karena vested interest atau alasan lain. Hal ini berdasar pada argumen-argumen dari nash al-Quran, hadis, dan pendapat para ulama lampau yang lebih detail dijelaskan di buku itu. “Untuk menyatakan non-muslim sebagai kafir itu harus ada qiyamul-hujjah,” ungkap Dr. Haidar, “Kalau Islam yang sampai kepada mereka tidak cukup meyakinkan mereka, itu berarti hujjah belum tegak, dan karena itu bukan kafir.” Dengan ini, ia mewanti-wanti agar kita tidak mudah mengobral tuduhan sesat dan kafir kepada orang yang berbeda mazhab atau beda keyakinan.
Menutup ceramahnya, Dr. Haidar menawarkan bahwa Islam paling baik diajarkan dengan memberikan penekanan pada aspek spiritualitas. Baginya, tasawuflah yang mewadahi aspek cinta dalam Islam. “Banyak umat Islam lupa kalau Islam bukan hanya terdiri dari rukun Islam dan rukun iman. Ada rukun yang merupakan puncak keimanan dan keislaman, yaitu rukun ihsan, yang ada dalam tasawuf. Ihsan inilah yang melahirkan cinta. Hilangnya ihsan membuat keislaman seseorang menjadi kering dan penuh kebencian,” pungkas Dr. Haidar.
Penulis, A.S. Sudjatna, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2015.