Melintasi Sarang Naga di Bawah Angin:
Ragam Pecinan di Nusantara
Refan Aditya – 20 Maret 2023
Memori nasional tentang masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia sering kali dibayangi oleh pengalaman pahit yang mereka alami. Yang paling kentara ialah pelarangan perayaan adat Tionghoa di ruang publik dan pelucutan identitas ketionghoaan melalui kebijakan asimilasi paksa di era Orde Baru. Sentimen antikomunis serta kecemburuan sosial terhadap masyarakat keturunan Tionghoa juga menjadi bahan bakar stigma yang getarnya masih terasa sampai hari ini. Klimaksnya, di titik akhir kekuasaan Soeharto, masyarakat keturunan Tionghoa di berbagai kota menjadi korban anarkisme massa yang tak terperi. Namun, sejarah membuktikan, betapapun dalam luka itu, selalu ada rumah tempat trauma kolektif tersebut disulih menjadi daya; tempat harapan masih bisa dianggit bersama: pecinan.
Pecinan menjadi tajuk utama Wednesday Forum edisi 22 Februari 2023. Melalui presentasinya yang berjudul, “Dragon Nest Bellow The Wind: The History and Diversity of Chinatown in Archipelago”, Agni Malagina menjelajah bentang aneka rupa dan sejarah pecinan di Indonesia. Jurnalis National Geographic Indonesia sekaligus dosen Program Studi Cina di Universitas Indonesia ini berbagi pengalaman dan penelusurannya ke lima “sarang naga” di Indonesia; Tanjung Pinang, Bangka, Lasem, Sumenep, dan Timor. Ia punya cerita yang menarik.
Mulanya Adalah Jalur Dagang Internasional
Agni membuka diskusi dengan memaparkan peta migrasi dan jalur niaga Tiongkok ke Nusantara. Sejak awal abad Masehi, Nusantara telah menjadi rute utama perniagaan laut antara Asia Timur dan Asia Selatan. Setidaknya, ada lima jalur perniagaan Sang Naga yang singgah di Nusantara: jalur rempah, jalur sutra laut, jalur timah Bangka, jalur emas muntrado, dan jalur gambir.
Sekitar abad ke-15 terjadi gelombang kedatangan masyarakat Tionghoa ke Nusantara melalui jalur sutra laut. Mulanya, yang datang adalah kaum intelektual (shi) dengan misi diplomasi dan observasi potensi niaga. Kaum petani (nóng), pengrajin (gong), dan pedagang (shang) menyusul kemudian. Sebenarnya, jalur sutra laut ini merupakan jalur pelayaran kuno bangsa-bangsa Austronesia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Ekspedisi Chenghe membuat jalur ini menjadi kian dikenal banyak orang.
Memasuki abad ke-18, kontak antara negeri Tiongkok dan Nusantara semakin intens. Salah satu yang tempat yang menjadi simpul pertemuan ini adalah Kepulauan Riau yang terletak di sekitar Selat Malaka. Begitu tiba di kawasan khatulistiwa, kapal-kapal dagang Tiongkok acap kali merapat di pelabuhan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, sebelum melanjutkan pelayaran ke daerah-daerah tujuan lain. Pun ketika mereka akan pulang kembali ke negerinya. Seperti Tanjung Pinang, beberapa tempat di Nusantara juga menjadi tempat persinggahan dan bandar bagi pedagang-pedagang Tiongkok. Beberapa masyarakat Tionghoa yang tinggal kemudian membentuk pemukiman tersendiri sehingga mekarlah pecinan di berbagai tempat. Dari sinilah berbagai kontak budaya dengan masyarakat setempat terjadi.
Pecinan Melayu: Tanjung Pinang dan Bangka
Relasi diplomasi dan dagang antara Kerajaan Melayu Riau Lingga dan negeri Tiongkok sudah terjalin sekira abad ke-17. Salah satu komoditas andalan pada masa itu ialah gambir yang digunakan sebagai pewarna batik. Hasil tanaman ini diekspor hingga ke Malaysia, Singapura, Burma, Vietnam, dan Suriname. Tercatat, Sultan Melayu Riau Lingga mendatangkan orang-orang dari negeri Tiongkok untuk membuka lahan gambir sehingga Riau menjadi produsen utama komoditas ini di Nusantara kala itu. Bahkan, saking makmurnya, Tanjung Pinang sempat dikenal sebagai kota emas.
Menurut Agni, perjumpaan antara masyarakat Tiongkok dan Melayu ini ikut mewarnai karakter pecinan di sana. Para pendatang tidak hanya bertukar barang dagangan, tetapi juga budaya dan pengetahuan. Salah satu wujudnya yang bisa dinikmati hingga saat ini ialah pertunjukan sandiwara boneka atau potehi. Di Pulau Penyengat, pulau kecil di Kepulauan Riau tempat istana sultan berdiri, sandiwara boneka ini menjadi pertunjukan wajib di acara-acara kesultanan dan menjadi bagian kesenian Melayu Tanjung Pinang hingga sekarang.
Namun, Agni bercerita, sekarang keadaanya sudah tak sama dan bahkan kalah jauh dengan kawasan tetangganya, Pulau Batam. Tanjung Pinang kini menjadi kota tua dan pecinannya sekadar menjadi destinasi wisata yang, ironisnya, minim perhatian dari pemerintah daerah. Di sisi lain, generasi muda peranakan Tionghoa lebih memilih untuk merantau, meninggalkan sesepuh mereka yang merawat tinggalan-tinggalan budaya yang tersisa.
Seperti Tanjung Pinang, Bangka juga jadi tujuan saudagar Tiongkok yang sambang ke Nusantara untuk berburu bahan baku. Pecinan di Bangka berada di Muntok, Pangkal Pinang. Pecinan ini muncul dan berkembang pada abad ke-18, segelombang dengan kedatangan mereka di Kepulauan Riau. Para saudagar Tiongkok ke Bangka untuk mencari timah yang menjadi bahan baku utama untuk penyaring dan bungkus teh, kosmetik, perhiasan, serta dupa untuk persembahyangan mereka. Ketersediaan bahan baku timah di daratan Tiongkok tidak lagi mampu memenuhi konsumsi yang terus meningkat. Karenanya, para saudagar ini menjalin diplomasi dan mendirikan kongsi bersama para aristokrat Bangka atas seizin Sultan Bangka di Muntok. Orang-orang Tionghoa pun berduyun-duyun datang dan membuka pertambangan. Dari sinilah pecinan di Bangka bermula dan menjadi bagian dari bandar penting antarpulau. Kedekatan para perantau Tionghoa dengan bangsawan setempat ini juga terjalin melalui pernikahan antarras.
Cina Kecil di Lasem
Pecinan di Lasem merupakan pecinan yang unik di Indonesia. Jika pecinan lain di Nusantara diwarnai oleh bangunan berbentuk rumah toko yang dihuni sebagai tempat tinggal dan berjualan, pecinan di Lasem diisi oleh rumah-rumah vila luas nan megah yang memanjakan mata. Rumah-rumah tersebut merupakan perpaduan antara bangunan ala Hindia Belanda dengan pintu gerbang dan tembok khas Fujian Selatan. Karenanya, tidak berlebihan jika Claudine Salmon dalam Chinese Epigraphic Materials in Indonesia (1997) menyebut Lasem dengan le Petit Chinois atau Cina kecil.
Sebagai salah satu kota persinggahan pertama bagi masyarakat Tionghoa di Jawa, Lasem memainkan peran besar dalam aktivitas perekonomian di pesisir Jawa maupun relasi dagang dengan Tiongkok Daratan. Salah satunya karena perdagangan opium (candu) yang membuat Lasem menjadi pecinan paling makmur di tanah Jawa. Opium di Lasem didatangkan dari Nan Yang atau kawasan Laut Cina Selatan seperti Burma, Thailand, serta semenanjung Asia Tenggara. Inilah yang membuat kota kecil tersebut menjadi corong candu di Jawa pada masa itu. Namun, kejayaan ini berakhir ketika pemerintah kolonial memonopoli komoditas opium melalui Regi Opium Hindia Belanda pada akhir abad ke-19.
Penjual dan penyelundup opium di Lasem akhirnya mencari penghidupan lain sebagai pembatik. Bermodal jaringan dagang yang sudah mereka rawat sejak lama, tidak sulit bagi para pedagang Tionghoa ini untuk menghilirkan produk batik mereka. Salah satu yang tersohor ialah Batik Tiga Negeri. Batik khas Lasem yang kental dengan langgam Tionghoa ini terkenal hingga ke mancanegara. Kegemilangan masa lalu ini masih terbias dari tinggalan arsitektur dan produk-produk batik yang tersebar di desa-desa di Lasem. Salah satu jejak kegemilangan ini tampak kelenteng Tjoe An Kiong yang terletak di Desa Soditan. Kelenteng tertua di Jawa ini masih memancarkan kilauan dan keanggunannya saat kami berkunjung ke sana (simak tulisan laporan kuliah lapangan CRCS di Lasem).
Pecinan yang Bukan Pecinan di Sumenep
Dari Lasem, diskusi berlanjut ke pecinan di Madura, tepatnya di Sumenep. Yang menarik, “di Sumenep tidak dikenal kawasan pecinan,” kata Agni. Padahal, dalam penelusurannya, Agni menemukan banyak rumah ala Tionghoa dan masyarakat keturunan Tiongohoa di sana. Di Sumenep, Agni berkunjung ke Kampung Pasongsongan, tempat tinggal lebih dari 50 keluarga keturunan Tionghoa-Muslim. Rupanya, penduduk setempat tidak lagi menyebut pemukiman mereka sebagai pecinan. Secara turun-temurun, masyarakat Tionghoa di Madura sudah berbaur dan menikah dengan masyarakat setempat. Lima keluarga muslim-Tionghoa yang ditemui Agni di Sumenep menceritakan bahwa mereka adalah generasi ke-7 dari nenek moyang mereka yang pertama kali tiba di Madura. Sampai saat ini, mereka terus melestarikan pengetahuan dan tradisi Tionghoa dalam keluarga mereka. Satu hal yang meleburkan identitas keislaman dan ketionghoaan mereka adalah kesadaran kolektif akan kisah Laksamana Ceng Ho dan komunitas Hadramaut yang datang ke tanah Madura
Warisan hasil kawin budaya Cina-Madura ini, misalnya, tampak pada makam sultan dan adipati di Sumenep yang langgam ukirannya sangat khas kelenteng. Ada pula Masjid Jamik Sumenep dengan arsitektur semi kelenteng yang didesain oleh Lauw Pia Ngo, seorang Tionghoa utusan Adipati Sumenep, pada tahun 1779. Banyak keluarga di Kampung Pasongsongan yang mewarisi pengetahuan obat-obatan herbal Tionghoa yang dibuat dari racikan rempah-rempah lokal maupun yang diimpor dari Cina Daratan. Racikan inilah yang sekarang dikenal dengan Jamu Madura.
Cina Timor yang Hanya Tahu Imlek
Pecinan terakhir yang didiskusikan Agni di Wedforum ini terletak di kawasan Timor, tepatnya Dili dan Kupang. Agni melacak muasal kedatangan pedagang Tionghoa pertama kali ke pulau ini. Ia menemukan manuskrip-manuskrip yang mendokumentasikan kedatangan pengepul Cina untuk mencari kayu cendana di bagian timur Nusantara pada sekitar abad ke-11 sampai ke-13.
Agni juga mengungkapkan fakta lain tentang jalur alternatif atau jalur rahasia perdagangan Cina ke kawasan timur Nusantara. Jika sebagian besar rute utama perniagaan melewati Selat Malaka, para pengepul cendana ini mengambil arah ke timur menuju Kepulauan Filipina, lalu ke arah Selat Makassar, hingga akhirnya sampai ke Timor. Agni menyebut jalur ini dengan jalur kayu cendana. Selama 7 abad, jalur rahasia ini hanya diketahui oleh pedagang Cina—sebelum akhirnya koloni Portugis dan Belanda datang ke Timor dan memonopoli perdagangan kayu cendana.
Namun, jejak perjumpaan masyarakat Tionghoa dan masyarakat Timor tidak banyak tersisa. Masyarakat keturunan Tionghoa di Timor hanya mengenal tradisi perayaan Imlek. Upacara dan perayaan meriah yang umum kita lihat dalam peringatan hari besar masyarakat Tionghoa, seperti Cap Go Meh dan Peh Cun, tidak lagi ditemukan. Masyarakat keturunan Tionghoa di Kupang dan Dili meyakini bahwa leluhur mereka adalah Sina Mutin Malaka yang berarti, “Cina Putih yang berasal dari Malaka”—bukan Tiongkok Daratan dan tidak berorientasi ke sana secara budaya.
Menurut Agni, sebutan “Tionghoa” juga asing bagi mereka. Mereka lebih memilih untuk disebut sebagai “cina” saja—panggilan yang bermuatan sentimen jika itu dipakai di tempat lain. Ini menunjukkan betapa ragamnya penghayatan identitas ketionghoa-an masyarakatnya Tionghoa di tiap-tiap pecinan. Narasi besar tentang pasang surut rekognisi kewarganegaraan orang Indonesia-Tionghoa tidak selalu memadai untuk memasuki pengalaman kolektif masyarakat Tionghoa di lingkar terluar narasi itu.
Pecinan Itu Cair dan Dinamis
Sebagai entitas geografis, historis, sekaligus sosiologis, pecinan tidaklah tunggal. Pecinan memiliki rupa yang bermacam-macam sesuai dengan kultur lokalnya. Persis seperti identitas ketionghoaan yang senantiasa cair—dan tak jarang menguap. Identitas juga dapat mengambil rupa baru yang sama sekali tidak tertebak dan hampir nirpola. Komunitas Tionghoa dan pecinannya adalah contoh paling dekat dari tesis ini.
Terbentuknya pecinan di Indonesia tak terlepas dari politik segregasi pemerintahan kolonial. Ia terbentuk dari upaya penertiban yang berimbas pada terkonsentrasinya aktivitas suatu golongan dan etnis tertentu pada sebuah kawasan. Sistem pemukiman inilah yang membuat komunitas Tionghoa seolah ekslusif. Kini, pecinan sebagai bagian tinggalan kolonial itu tetap lestari, bukan lagi sebagai pusat aktivitas perdaganan orang Tionghoa, melainkan sebagai destinasi wisata dengan warisan budaya Tionghoa sebagai mesin perekonomiannya. Pecinan pun mencair dan berubah bentuk.
Seiring bergulirnya masa dan kian kosmopolitnya masyarakat kita, identitas etnis dan geografis semakin kabur. Batas antara satu etnis dan yang lain, satu pemukiman dan pemukiman lain, kian melebur dan tak jarang hanya tersisa dalam batas administratif. Karenanya, sebutan dan pemaknaan Tionghoa dan pecinan akan terus berkembang. Bagaimana pun, dinamika dan keunikan pecinan merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Eksistensi peranakan Tionghoa ikut membentuk karakter manusia Indonesia dan praktik kebudayaan tersebut turut membentuk wajah budaya Indonesia hari ini.
______________________
Refan Aditya adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.