• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Transformasi Modernitas yang Berlantas di Kanekes

Transformasi Modernitas yang Berlantas di Kanekes

  • Berita, Berita, Event report, Laporan Wednesday Forum, News, Wednesday Forum Report
  • 16 October 2024, 11.54
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Transformasi Modernitas yang Berlantas di Kanekes

Afkar Aristoteles Mukhaer – 15 Oktober 2024

Modernitas membawa tantangan bagi masyarakat Urang Kanekes. Namun, mereka punya cara tersendiri dalam menghadapinya.

Masyarakat adat Urang Kanekes—atau yang lebih populer dengan nama Baduy—di Banten selalu menarik perhatian para peneliti. Setidaknya ada 95 dokumen karya ilmiah yang memuat kata kunci “Baduy” dan 23 dokumen karya ilmiah dengan kata kunci “Kanekes” di situs Scopus. Ketertarikan ini muncul, di antaranya, karena masyarakat adat Kanekes sangat melestarikan ajaran tradisi leluhur sampai hari ini kendati wilayah adat mereka tidak jauh dari Jakarta, kota metropolitan serba modern. 

Ketertarikan ini pula yang membawa Iis Badriatul Munawaroh untuk tinggal dan belajar bersama masyarakat adat Kanekes. Melalui tesisnya yang bertajuk “Baduy Luar of Banten: Engaging Modernity for Indigenous Transformation”, alumni CRCS ini menyingkap cara masyarakat adat di lapisan luar wilayah Kanekes (Baduy Luar) dalam merespons modernitas. Masyarakat adat Kanekes terbagi menjadi dua kelompok yaitu Urang Kanekes Luar (Baduy Luar) dan Urang Kanekes lapisan dalam (Baduy Dalam). Urang Kanekes luar ialah masyarakat adat yang menetap di 63 kampung dan cenderung menerima pengaruh modernisme. Sejatinya, keberadaan mereka terhubung dalam kesatuan utuh dengan Urang Kanekes lapisan dalam (Baduy Dalam) yang tinggal di tiga kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik).

Dalam Wednesday Forum (2/10), Iis menjelaskan bahwa modernitas memasuki kehidupan masyarakat adat Kanekes bagian luar sebagai ekses dari perluasan wilayah pertanian dan industri pariwisata. Pertumbuhan penduduk masyarakat adat Kanekes bagian luar sejak 1950-an mendorong tradisi mencari lahan berladang baru yang disebut sebagai nganjor, dan tidak jarang membangun pemukiman karena jaraknya yang jauh dari kawasan adat Kanekes.

Pembangunan pemukiman terjadi pada 1976 ketika pemerintah dan jaro (kepala desa) sepakat untuk memanfaatkan Gunung Tunggal yang jauh dari kawasan masyarakat adat. Akan tetapi, perluasan permukiman ini menghadirkan dilema bagi masyarakat adat Kanekes. Mereka harus memilih antara tinggal di permukiman baru tersebut dengan sayrat berpindah ke agama yang diakui pemerintah atau kembali ke kawasan adat Kanekes dengan tetap memeluk agama leluhurnya. Proses kependudukan di Gunung Tunggal berhenti pada tahun 2000. Mereka yang telah berpindah agama kemudian berasimilasi dengan masyarakat umum. 

Modernitas Masuk Kanekes

Sejak 1990, Pemerintah Kabupaten Lebak menjadikan masyarakat adat Urang Kanekes sebagai objek pariwisata kebudayaan. Aktivitas pariwisata menyebabkan pro dan kontra. Banyak pengaruh dari luar Kanekes masuk dan menjadikan masyarakat Kanekes sebagai “tontonan”. 

Dalam setahun, lebih dari 42 ribu wisatawan mengunjungi Desa Kanekes pada 2009—angka ini lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. “Kalau malam, [di sana] seperti pasar. Sangat padat di Baduy,” terang Iis. Sebagai respons atas masifnya kunjungan dan dampak pariwisata, kalangan adat mengganti pendekatan wisata menjadi Saba Budaya sebagai upaya meminimalkan dampak negatif terhadap budaya dan lingkungan Kanekes pada 2020.

Lapisan luar Urang Kanekes adalah kalangan paling terdampak dengan arus modernitas yang dibawa oleh wisatawan. Masuknya modernitas ini menyebabkan transformasi di beberapa sektor dari aktivitas ekonomi hingga pewarisan pengetahuan. Urang Kanekes yang dulunya menggantungkan hidupnya dengan bertani, kini sebagian besar dari mereka menjadi penjual buah tangan seperti kain tenun, baik secara daring maupun luring. Transaksi perdagangan yang awalnya melalui sistem barter dan emas, kini mulai menggunakan pembayaran digital seperti QRIS.

Pada sektor kesehatan dan praktik medis, Urang Kanekes biasa memanfaatkan bahan alami seperti daun handeuleum (Graptophyllum pictum) untuk mengobati sakit perut. Hari ini, tak sedikit Urang Kanekes lapisan luar yang memilih untuk pergi ke rumah sakit atau puskesmas terdekat.

Salah satu transformasi yang kentara terjadi ialah perubahan pola pewarisan pengetahuan. Tradisi Urang Kanekes melarang anak-anaknya untuk bersekolah, termasuk mengikuti kegiatan pembelajaran nonformal yang dilakukan dari pihak luar. Pengetahuan masyarakat diwariskan oleh kalangan tetua adat dan orang tua di dalam keluarga. Sejak penggunaan ponsel hadir di dalam masyarakat adat, anak-anak mendapatkan pembelajaran dari sarana digital. Perangkat digital juga mengubah tradisi teknologi, budaya material, dan kehidupan sehari-hari masyarakat dari komunikasi lisan menjadi daring.

Meski terlihat mampu beradaptasi, transformasi ini tidak jarang menimbulkan dampak negatif, misalnya, penggunaan plastik sekali pakai dalam ritual Urang Kanekes. Pada tradisi Ngubaran Pare, Urang Kanekes biasa menyediakan hancengan (bingkisan) berbungkus daun pisang atau bahan alami. Kini, bahan pembungkus itu berganti dengan plastik. Iis mengamati, masyarakat Kanekes memandang plastik memiliki sifat serupa dengan sampah organik seperti daun yang biasanya menjadi pembungkus hancengan. Akibatnya, penggunaan plastik tersebut menyebabkan permasalahan sampah baru yang tidak bisa terurai.

Iis juga mencatat pengalaman pribadinya selama di lapangan tentang kehadiran teknologi yang tidak sepenuhnya diterima Urang Kanekes. Seorang penjemputnya, Urang Kanekes, tidak bisa memarkir mobilnya dekat pintu masuk kawasan Kampung Adat Kanekes. ia terpaksa memarkir di tempat yang jauh. Bagi Urang Kanekes, memiliki kendaraan modern merupakan sebuah tabu. Urang Kanekes yang memiliki mobil akan distigma oleh masyarakatnya sebagai “tidak beradat lagi”. 

Merespons Modernitas

Menurut Iis, kalangan modern umumnya mengangap masyarakat adat sebagai “yang tertinggal sehingga harus dibuat beradab” atau, sebaliknya, “masyarakat ideal yang seharusnya tidak tersentuh oleh modernitas yang palsu”. Paradigma ini menganggap transformasi sebagai sebuah pelanggaran adat. Penyikapan dan pemanfaatan pelbagai aspek modernitas selalu menimbulkan perdebatan dan diskusi di dalam kelompok masyarakat.

Iis menekankan bahwa Urang Kanekes menghayati transformasi ini melalui konsep pengetahuannya yang disebut Pikukuh Karuhun. Pengetahuan ini mengajarkan akan keseimbangan alam dan manusia sebagai kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Mereka memandang bahwa manusia adalah makhluk yang “hirup numpang di alam (hidup menumpang di alam)”, dan meyakini bahwa alam merupakan sosok selain manusia di dunia.

Oleh karenanya, dalam paradigma Urang Kanekes, modernitas juga dapat membantu untuk melindungi kawasan Sasaka Domas (tempat suci masyarakat Kanekes). Misalnya, penjualan cenderamata secara daring dapat mengurangi serbuan kunjungan wisatawan yang ingin mendapatkan buah tangan khas Kanekes. Dengan demikian, kawasan Sasaka Domas tetap terjaga sebagai bentuk penghormatan kepada alam. Di sisi lain, masyarakat dapat mempertahankan mata pencaharian tradisional yang berkelanjutan sekaligus memfasilitasi pertukaran timbal balik antara Urang Kanekes dan dunia luar.

Pendekatan paradigma Saba Budaya, sebagai pengganti konsep pariwisata, merupakan hasil transformasi dari paradigma agama adat Urang Kanekes. Kalangan adat ingin menjaga nilai-nilai leluhurnya sebagai sumber pembelajaran, alih-alih hanya menjadi objek tontonan wisatawan. Secara linguistik saba dapat disinonimkan dengan silaturahmi, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa Saba Budaya ajang pertemuan yang setara antara masyarakat adat dan pengunjung.

Namun, transformasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Urang Kanekes. Masifnya penggunaan telepon genggam membuat anak-anak Kanekes kecanduan. Di sisi lain, mereka kewalahan untuk mengolah informasi dari dunia digital. Media sosial juga menjadi ruang berbahaya bagi perempuan Urang Kanekes. Tak sedikit perempuan Kanekes yang menjadi korban eksploitasi dan kekerasan seksual di dunia maya.

Keterikatan Urang Kanekes dengan teknologi hanyalah salah satu dari sekian tantangan dalam menghadapi transformasi modernitas. Iis menyatakan, sebetulnya masih ada banyak tantangan bagi mereka hari ini yang tak kalah pelik. Paradigma agama adat menunjukkan bahwa Urang Kanekes lapisan luar punya upaya sendiri untuk bertransformasi menghadapi modernitas. Berkat interaksi yang intens dengan dunia luar, masyarakat Kanekes kini mulai terbuka dengan pembahasan terkait eksploitasi seksual yang sebelumnya dianggap tabu. Di sisi lain, kalangan adat Kanekes Dalam sementara ini mengambil sikap isolasi diri dari internet untuk menghindari dampak buruk dunia digital terhadap pendidikan tradisi generasi muda. 

Transformasi Urang Kanekes memang akan terus berlangsung. Menghadapi dunia yang terus berubah dan senantiasa membawa hal baru, Urang Kanekes perlu duduk bersama untuk menangani ekses dari modernitas, seperti penanganan masalah timbulan sampah plastik dan pentingnya program literasi digital. Mereka juga tidak menutup dukungan dari pihak luar. Namun, upaya transformasi itu mereka lakukan dengan tetap memegang Pikukuh Karuhun.

______________________

Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.

Foto tajuk artikel: Iis Badriatul Munawaroh.

Tags: afkar aristoteles mukhaer Baduy Kanekes modernitas

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Experience "Moving with Dharma," a unique practice Experience "Moving with Dharma," a unique practice as research performance that creatively explores Buddhist teachings in the context of contemporary Indonesia. This event blends music and dance to offer new perspectives on Dharma.

Happening on Saturday, May 17th, 2025, from 7 to 9 PM WIB at Balai Budaya Minomartani.

Witness the talents of performers M Rhaka Katresna (CRCS UGM), Victorhugo Hidalgo (Gnayaw Puppet), Gutami Hayu Pangastuti (Independent Researcher-Artist), and Sakasatiya (Music Presentation, ISI Yogyakarta). The evening will be guided by MC Afkar Aristoteles M (CRCS UGM).

The event also includes welcoming remarks by Samsul Maarif (CRCS UGM) and Ahmad Jalidu (Paradance Platform), an introduction to "Buddhism in Modern Asia" by Yulianti (CRCS UGM), and a discussion moderated by Ayu Erviana (CRCS UGM) with responders Nia Agustina (Paradance Platform) and Rahmad Setyoko (ICRS UGM).

This presentation is a collaboration between CRCS UGM, ICRS, and Paradance Platform, and is part of the final term project for "Buddhism in Modern Asia" and a group research project on "Interreligious Dialogue."

#MovingWithDharma #BuddhistTeachings #ContemporaryIndonesia #MusicAndDance #PerformanceArt #DharmaDiscussion #BalaiBudayaMinomartani #YogyakartaEvents #AcademicResearch #ArtAndSpirituality
Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju