Manifesto Generasi Baru Khonghucu Indonesia
Refan Aditya – 21 Januari 2025
“Bukan dari tanah liat yang dibentuk dan ditiup ruh, kita berasal dari tulang-belulang nenek moyang kita!”
Kalimat itu terlontar dari salah seorang anak muda Khonghucu ketika menjawab pertanyaan kuis terkait relevansi sembahyang leluhur bagi umat Khonghucu hari ini. Dengan nada menggelora, ia menandaskan jawaban itu di hadapan semua peserta Si Shu Study, forum tahunan anak muda Konghucu, di Solo. Semua bertepuk tangan dan bersorak.
Sebagai tamu yang bukan umat Khonghucu dan besar dalam tradisi agama abrahamik, momen tersebut membuatku terkesan. Tentu saja, ini mengungkapkan sesuatu. Bagi umat Khonghucu, bakti kepada leluhur atau orang tua mendahului doktrin tentang Tuhan dan manusia pertama. Ini berbeda dengan doktrin agama abrahamik yang mendominasi arus utama wacana keagamaan di Indonesia (baca Genta Rohani dalam Resistensi).
Tahun ini, PAKIN (Pemuda Agama Khonghucu Indonesia) Solo mengangkat tema “Agama Khonghucu, Kolot atau Keren”. Ada sekitar 30-an pemuda Khonghucu se-Jawa yang hadir dalam Si Shu Study. Sebagai pembelajar agama Tionghoa, aku diundang untuk ikut dalam acara tiga hari dua malam di penghujung 2024 ini. Rupanya, Si Shu Study tidak hanya membahas kitab suci Si Shu, tetapi juga meluas pada tema-tema keseharian seputar arti menjadi umat Khonghucu.
Mengingat Bangsa Zhou, Leluhur Terbaik Orang Tionghoa
Go Fee Mong, guru dan intelektual agama Khonghucu dari Surabaya, membuka topik tentang Khong Zi sebagai nabi pewarta ajaran nabi-nabi Khonghucu pendahulunya. Dengan tangan yang lincah menggoreskan aksara mandarin di papan putih, Cik Fee Mong membabarkan periode terbaik kekaisaran Tiongkok, pada dinasti Zhou (1045–256 STU). Pada masa akhir dinasti inilah menjadi era munculnya ajaran-ajaran Khonghucu.
Melihat negara yang telah carut marut dan pecah belah, Khong Zi (551–472 STU) mendiagnosis bahwa raja bangsa Zhou, leluhur bangsa Han dan orang Tionghoa di seluruh dunia, telah meninggalkan prinsip kesusilaan berwarga negara yang telah ditanamkan pendirinya. Maka Khong Zi, dengan anugerah kenabiannya, mengumpulkan ajaran-ajaran luhur yang telah ditinggalkan itu dalam lima kitab yang dikenal kitab Wu Jing (五經; Wǔjīng) atau kitab lima ajaran yang berasal dari nabi-nabi klasik dan raja suci. Kitab Wu Jing inilah yang kemudian mendasari kitab Si Shu.
Cik Fee Mong menjelaskan, Nabi Khong Zi tidaklah menciptakan sebuah sistem ajaran baru, tetapi menggali dan mengompilasi ajaran-ajaran luhur para waskita pendahulu yang hampir lenyap akibat peperangan dan fragmentasi kekuasan dinasti Zhou. Kemudian, pada rentang tahun 551—233 STU datanglah sebuah era ketika para cendekiawan dan bijak bestari turun tangan. Pada era yang disebut Periode Seratus Filsuf inilah sang Nabi dan para filsuf—seperti Mo Zi, Lao Zi, Mencius, dan Chuang Zi—lahir dan berkiprah membumikan moralitas bangsa Zhou awal ke daratan Tiongkok. Dengan kata lain, menjadi Khonghucu berarti menghidupi ajaran leluhur pendiri awal dinasti Zhou dan para nabi penerusnya.
Meja Leluhur dan Khonghucu Mula-mula
Lantas muncul pertanyaan, apakah orang Tionghoa mesti selalu menghadapkan jati dirinya pada leluhur bangsa yang jauh nan lampau di sana? Lagi pula, apakah setiap Tionghoa mesti Khonghucu?
Sumantri, Ketua Klenteng Tien Kok Sie Solo, berambut putih dengan garis muka yang selalu serius, menjelaskan dengan rapi dan rinci tentang asal mula lahirnya agama Khonghucu di Indonesia. Materi yang tampak cukup berat untuk dicerna peserta yang hampir semuanya remaja awal. Dia menandaskan bahwa pada mulanya semua orang Tionghoa di Indonesia adalah orang Khonghucu, “Lihat saja, kalau ada meja leluhur di rumahnya, pasti Khonghucu.”
Sebenarnya aku kurang sepakat, karena belum tentu seorang yang merawat altar leluhurnya di rumah mengimani ajaran Khonghucu seperti agama Khonghucu dipahami hari ini. Menyimak ceritanya, dengan agak terburu aku melompat pada kesimpulan bahwa yang ia maksud dengan “Khonghucu” sebetulnya bukan sekadar agama resmi dalam bentuknya yang dikenal sekarang, melainkan agama rakyat Tionghoa. Dengan kata lain, pengetahuan tentang agama Khonghucu tidak terbatas pada ajaran-ajaran standar lembaga resmi agama dan negara. Justru, Sumantri hendak mengangkat bahwa keutamaan wajib menjadi umat Khonghucu adalah bakti (xiao) kepada leluhur dan hidup bersusila. Leluhur adalah poros dari religiusitas umat Khonghucu, alih-alih surga-neraka dan dunia transenden.
Dalam diskusi selepas acara, ia menggarisbawahi bahwa sebutan Khonghucu itu sebetulnya bentukan dari cara pandang orang barat dalam menamai subjek kajiannya, di antaranya praktik spiritualitas atau keagamaan orang Timur. Adalah Matteo Ricci, sang jesuit agen paradigma agama dunia, yang mula-mula mengenalkan ajaran ini dengan istilah “Confucianism” pada abad ke-16. Sebelumnya, istilah yang populer digunakan untuk menjelaskan ajaran Khonghucu adalah Rú; ajaran susila para bijak bestari yang dikompilasi oleh Nabi Khong Zi dalam kitab-kitabnya. Maka, pernyataaan “Semua orang Tionghoa [di Indonesia] sudah mesti beragama Khonghucu” itu, dapat dimaknai sebagai menganut ajaran Rú atau Rújiā /Rújiào. Terlepas dari perdebatan apakah Rú juga meliputi agama rakyat Tionghoa, anggaplah aku sepakat kalau semua orang Tionghoa pada mulanya beragama Khonghucu dalam pengertian Rú ini.
Pendirian Kawula Muda Khonghucu
Sekarang kembali pada kutipan di muka. Tentu, yang dimaksud “tanah yang dibentuk dan ditiup roh” itu adalah Nabi Adam, manusia pertama dalam tradisi agama abrahamik. Ungkapan itu muncul dari generasi Khonghucu yang belum lahir ketika agama ini tersingkir dari deretan agama resmi Indonesia. Bahkan sebagian peserta Si Shu Study lahir selepas Orde Baru tumbang. Mereka tidak segenerasi dengan para penulis dari kalangan umat awam Khonghucu di majalah Gentrika dan Genta Rohani yang harus memperjuangkan identitas keagamaannya; juga tidak hidup semasa dengan dewan rohaniwan Khonghucu yang memutar akal agar ajaran Khonghucu selaras dengan Pancasila dan paradigma agama dunia yang abrahamik. Kini, para pemuda Khonghucu tidak perlu was-was dan payah bernegosiasi seperti orang tua mereka dulu. Praktik sembahyang leluhur serta performa ritual dan festival Tionghoa mendapat kebebasan di ruang publik.
Betapa pun para tokoh agama Khonghucu telah menyelaraskan agama Khonghucu dengan standar resmi negara dan paradigma agama dunia, sembahyang leluhur tak bisa ditawar. Ide tentang manusia pertama yang dibentuk dari tanah liat dan ditiup roh seperti didoktrinkan ajaran agama abrahamik jadi tak mengena bagi umat Khonghucu. Leluhur bersama orang Tionghoa, seperti diyakini umat Khonghucu, ialah Kaisar Kuning, sang pendiri peradaban Tiongkok yang mempersatukan suku-suku di sepanjang Lembah Sungai Kuning. Catatan terkait Kaisar Kuning atau Huang Di terekam dalam Shi Jing, salah satu dari kitab Wu Jing berisi sajak-sajak dari zaman dinasti Shang.
Di sisi lain, ungkapan, “… dari tulang-belulang nenek moyang kita” membuka pertanyaan penting: Siapa yang dianggap leluhur itu? Apakah sampai sejauh Kaisar Kuning atau leluhur yang mereka tahu saja, terutama yang hidup dan meninggal di Indonesia.
Terlepas dari glorifikasi terhadap leluhur pemersatu bangsa Tiongkok di masa lalu, para pemuda Khonghucu di Si Shu Study itu satu suara bahwa dalam agama Khonghucu, leluhur yang terutama berhak mendapatkan bakti adalah orang tua hingga para kongco-makco (orangtua kakek-nenek) yang masih terjangkau. Seorang umat muda Khonghucu menyatakan bahwa menambatkan diri ke iman Khonghucu membuatnya, “Lebih terhubung secara tradisi Tionghoa” dengan orangtuanya yang telah tiada. Salah seorang lain yang paling senior di antara pemuda itu maju dan mengatakan,
“Kita ada karena adanya orang tua kita. Orang tua kita yang berjasa mendidik dan membesarkan kita. Siapa lagi? Bahkan ketika mereka meninggal dunia, kita wajib yang namanya berkabung tiga tahun. Kenapa selama itu? Ya karena selama itu lah kita ditimang sampai bisa jalan sendiri.”
Sakralitas orang tua dalam ajaran Khonghucu ini praktis membuat orang Tionghoa mewariskan ingatan tentang leluhur-leluhurnya kepada keturunannya, baik dengan mengajarkannya untuk menghormati altar leluhurnya atau mengajaknya ke bong. Itulah salah satu alasan marga (lelaki) menjadi fundamental dalam identitas orang Tionghoa. Tradisi merawat hubungan dengan buyut yang telah tiada melalui sembahyang arwah leluhur dan Cheng Beng merupakan bagian dari praktik religius. Betapa pun berbeda pengalaman dan pandangan religius dengan generasi pendahulunya, anak muda Khonghucu tak akan pernah tercerabut dari “tulang” leluhurnya. Menyatakan dengan bulat, “Kita berasal dari tulang-belulang nenek moyang kita!” adalah sebentuk manifestasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, sekaligus wujud manifesto agensi muda Khonghucu terhadap wacana arus utama keagamaan di Indonesia.
______________________
Refan Aditya adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari dokumentasi PAKIN Solo
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.