Kabupaten Sumba Timur ialah satu-satunya kabupaten yang mengatur secara resmi eksistensi pendidikan kepercayaan melalui regulasi daerah. Sebagai program rintisan, keberadaannya patut diapresiasi sekaligus dicermati agar tidak sekadar memperpanjang kolonialisasi agama lewat pendidikan.
Perspective
Menggayuh Kebangsaan dalam Keimanan:
Rabu Abu, Pemilu, dan Politik Identitas
Teresa Astrid Salsabila – 14 Februari 2024
“Karena itu perlu saya tegaskan bahwa kita semua yang sudah memiliki hak pilih dan sudah terdaftar sebagai pemilih tetap, wajib datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan dengan bebas penuh sukacita memberikan hak pilih atau hak suara kita. Jangan Golput!”
Itulah sepenggal pesan Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Semarang, dalam Surat Gembala menyongsong masa Prapaskah. Selama 40 hari sebelum Paskah, umat Katolik menghayati sengsara Yesus Kristus dengan berpuasa, berpantang, dan bertobat. Momen Prapaskah tahun ini cukup istimewa. Hari pertama Prapaskah jatuh pada 14 Februari 2024. Ini artinya hari raya Rabu Abu bersamaan dengan dua momen penting lainnya yaitu Hari Kasih Sayang dan Pemilihan Umum 2024. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, Gereja Katolik turut merespons pesta demokrasi ini dengan berbagai cara.
Luka sejarah tak lantas menyurutkan umat Konghucu untuk mengekspresikan religiusitasnya di ruang publik. Meski mengalami kemerosotan jumlah persentase umat, perjalanan agama Konghucu pasca-Orde Baru tidak sesuram proyeksi data itu
Queer Nyantri, Ga Bahaya Ta?
Nanda Tsani – 27 Januari 2024
Queer muslim ngaji kitab, salat, zikir berjamaah, ziarah kubur, menabuh rebana, dan berselawat kepada Rasulullah. Namun, tetap saja muncul pertanyaan, apakah keberagamaan queer muslim ala Nusantara ini valid dalam Islam?
Jumat, 20 Oktober 2023. Waktu menunjukkan pukul 19:52 saat kereta kami berhenti di Stasiun Cirebon. Saya bersama rombongan santri kilat dari Yogyakarta akan menuju Kampus Transformatif Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina. Bersama kontingen lain dari berbagai kota di Indonesia, kami akan mengikuti Nyantri Kilat, sebuah program yang diinisiasi IQAMAH (Indonesian Queer Muslims and Allies), di pesantren ini selama 2 hari.
Agama, Kekerasan Seksual, dan Ketidakadilan Epistemik
Yohanes Babtista Lemuel Christandi – 19 Januari 2024
Keterkaitan agama dan ketidakadilan tidak selamanya dalam relasi oposisi. Agama memang dapat menjadi landasan untuk memberantas ketidakadilan, tetapi nyatanya agama juga merupakan tanah subur terjadinya ketidakadilan.
Selama dua tahun laporan Monthly Update on Religious Issue in Indonesia (MURII), ada satu isu keagamaan yang hampir muncul di tiap edisi yaitu kekerasan seksual di institusi pendidikan berbasis keagamaan. Fakta ironis ini menunjukkan bahwa agama bukanlah tempat yang steril dari ketidakadilan. Malah, ketidakadilan kerap menyamar dalam bungkus narasi keagamaan atau bersembunyi di balik ketiak otoritas keagamaan sehingga sukar dikenali. Miranda Fricker dalam bukunya Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (2007) menyebut fenomena semacam ini sebagai ketidakadilan epistemik.
Mengapa Mati Pun Harus Beragama?
Teresa Astrid Salsabila – 1 Desember 2023
Setiap kematian di Indonesia sulit untuk lepas dari pengaruh agama. Ia mengikat siapa pun hingga ke ujung hayat: tak peduli apa pun yang ia yakini.
Hari itu adalah hari yang muram bagi saya. Orang yang saya kenal dan kasihi wafat. Berpisah dengan yang terkasih karena kematian selalu menyisakan kesedihan mendalam. Namun, duka kali ini berbeda. Inilah pertama kalinya saya terlibat mengurusi prosesi kematian seseorang yang menyatakan diri tidak beragama. Jika merujuk pada kartu identitas, tidak ada agama yang tercantum di sana karena mendiang tercatat sebagai warga negara asing. Pasangannya juga meminta prosesi tersebut tidak menggunakan unsur agama apa pun sebagai bentuk penghormatan atas pilihan hidupnya. Di sinilah dilema dimulai.